Sabtu, 07 November 2009

Melihat secara kritis Pemikiran Amina Wadud Mukhsin (Sebuah Pengantar)

Suatu sistem kehidupan tidak dapat dianggap seimbang dan “baik”
jika mengabaikan salah satunya,
baik laki-laki maupun perempuan harus dapat bekerja sama secara “simbiotik-mutualistik”
jika menginginkan system kehidupan yang harmoni,
dan itulah semangat (spirit) yang hendak diberikan al-Qur’an.
(Amina Wadud Muhsin, Qur’an and Women)


(Mencoba Mengintip Secara Kritis Pemikiran Amina Wadud Mukhsin )
Apa yang diungkapkan oleh Amina Wadud diatas secara terang-terangan mengandung arti bahwa isu klasik mengenai perbincangan gender dalam Islam harusnya sudah terselesaikan. Namun diakui ataupun tidak dehumanisasi terhadap perempuan pernah terjadi dalam sejarah manusia (baik dunia barat ataupun timur “termasuk dalam dunia Islam”). Hal ini menjadi sangat aneh (menurut Amina) karena al-Qur’an yang seharusnya selalu menjadi patokan utama gerak umat islam pada dasarnya sanggat menghargai wanita dan laki-laki dalam satu garis yang equal (al-Musawah).
Amina Wadud dlm buku Pemikiran Islam Kontempoler mensinyalir hal seperti itu sangat besar kemungkinan adanya, karena bias gender dalam penafsiran al-Qur’an yang kebanyakan didominasi oleh laki-laki. Ia beranggapan bahwa kebenaran penafsiran itu sangat relative, banyaknya para penafsir yang saling bertentangan padahal semuanya merujuk pada al-Qur’an menjadikannya semakin yakin akan hal itu. Berangakat dari asumsi itu dan doktrin salikhu likulli zaman wa al-makkan maka mau tidak mau al-qur’an harus selalu ditafsirkan seiring dengan akselerasi perubahan dan perkembangan zaman. Hanya saja hal seperti itu memang masih tergoleng langka, seperti yang dikatakan Akron bahwa umat islam masih cenderung suka mengkonsumsi al-Qur’an sebagai bacaan ibadah bukan kajian ilmiah…
Dari bukunya al-Qur’an and Woman secara singkat dapat disebutkan “beberapa” letupan pemikiran Amina diantaranya:
1. Tidak ada penafsir yang benar-benar objektif.
Bagaimanapun mufasir terpengaruh oleh prior texts (sesuatu yang membentuk prespektif mufasirnya), dan itu artinya mufasir kapanpun tidak hanya memproduksi makna teks asli, namun ia juga memproduksi makna baru. Namun disisilain ia juga mengakui bahwa hal itulah yang membuat teks itu hidup dan memiliki makna di setiap zamannya. Tak mengherankan jika teks yang tunggal itu ketika dibaca akan menghasilkan “hasil” yang berbeda-beda. Amina menyayangkan mengapa sampai saat ini tidak ada metode penafsiran yang dapat dikatakan setandar objektif..? menski disisi lain ia juga mengakui hal itu tidak mungkin, namun minimal lebih objektif. Untuk yang terakhir itu Amina sepakat dengan gagasan Fazlurrahman yang menyatakan bahwa Mufasir harus dapat kembali pada prinsip dasar dalam al-Qur’an sebagai kerangka paradigmanya. (Padahal bagaimana prinsip dasar itupun masih dipertanyakan). Seorang mufasir harus faham Sosio kultur untuk dijadikan word view.
2. Katagorisasi penafsiran al-Qur’an.
Amina menyatakan bahwa beberapa penafsiran-penafsiran yang sudah dilakukan abad ini setidaknya dapat dikatagorikan menjadi tiga corak: Tradisional, Reaktif, dan Holistik.
Tradisiona, diartikannya bahwa Mufasir menggunakan pokok bahasan tertentu sesuai dengan minat dan kemampuannya. Model ini, menurut Amina bersifat Atoistik dan bersifat parsial hal itu diyakininya dapan menjadikan sang mufasir tidak dapat menerima ide dasar al-Qur’an. Lebih dari itu tafsir ini juga dikatakan bersifat eksklusif (hanya oleh satu orang saja, dan kebanyakan laki-laki) sehingga kesaaran dan pengalaman kaum laki-laki saja yang terakomodir didalamnya.
Corak Tafsir Reaktif, kurang lebih hanyalah reaksi para pemikir modern terhadap sejumlah hambatan-hambatan yang dialami dan disinyalir berasal dari hasil penafsiran al-Qur’an. Lemahnya, sampai saat ini (menurut Amina) tafsir model ini masih cenderung “kurang disertai analisis yang komperhensif terhadap ayat-ayatnya”. Akibat fatalnya adalah meskipun semangat yang dibawa para Mufasirnya adalah liberation namun hasilnya justru tidak sesuai dengan nilai-nilai dan ideology Islam.
Corak tafsir Holistik, menurut Amina model ini menggunakan seluruh seluruh metode penafsiran dan mengaitkannya dengan berbagai persoalan social, moral, ekonomi, politik, termasuk isu-isu perempuan yang muncul. Sebenarnya model ini mirip dengan model yang ditawarkan oleh Fazlurrahman dan al-Farmawi, menilik pendapatnya Rahman bahwa ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan dalam waktu tertentu (dengan keadaan umum dan khusus yang menyertainya) akan menggunakan ungkapan yang relative sesuai dengan situasi yang mengelilinginya. Karenanya ia tidak dapat jika hanya direduksi atau dibatasi oleh situasi historis pada saat diwahyukan saja.
Dengan semboyan yang sama itu Amina berpendapat bahwa usaha memelihara relevansi al-Qur’an dengan perkembangan kehidupan manusia, al-Qur’an harus terus dikaji ulang. Lagi-lagi idenya sama atau minimal senada dengan pemikiran orang lain, dalam hal ini “Sayhrul” dengan bukunya al-Kitab wal Qur’an Qira’ah Mu’asirah. Sayahrul juga menerangkan bahwa penyikapan terhadap al-Qur’an seperti itu merupakan konsekwansi logis dari doktrin yang menyatakan Salikh li kulli Zaman wa al-Makkan. Oleh karena itu hasil penafsiran harus selalu terbuka untuk dikritisi setiap saat tampa terkecuali pemikiran penafsiran Amina Wadud Mukhsin ini. Janagn sampai terjadi apa yang dikatakan oleh Akroun “sakralisasi pemikiran keagamaan”.


Bersambung………….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label