Rabu, 02 Maret 2011

Pengantar Teori Pengetahuan - Barat & Timur

knowledge atau ilmu merupakan suatu bagian yang esensial-aksiden bagi manusia. Hal ini karena pengetahuan merupakan buah dari "berpikir ". Berpikir (Natiqiyyah) adalah Fashl yang memisahkan manusia dari sesama genus-nya (Hewan). Sebenarnya kehebatan manusia dan "barangkali" keunggulannya dari spesies-spesies lainnya itu hanya karena proses berfikrnya yang kemudian menghasilkan pengetahuan. Dengan pengetahuan yang dimilikinya, manusia bisa membangun peradaban. Menurut saya ada beberapa pertanyaan mendasar mengenai pengetahuan itu sendiri, seperti: Apa yang telah dan ingin diketahui oleh manusia? Bagaimana manusia bisa memiliki pengetahuan? Apa yang harus ia lakukan atau dengan cara apa agar manusia memiliki pengetahuan? Kemudian apakah yang ia ketahui itu benar? Dan apa yang mejadi tolak ukur kebenaran?

Pertanyaan-pertanyaan di atas sebenarnya sederhana sekali karena pertanyaan-pertanyaan ini sudah terjawab dengan sendirinya ketika manusia sudah masuk ke alam realita. Namun ketika masalah-masalah itu diangkat dan dibedah dengan pisau ilmu maka tidak menjadi sederhana lagi. Masalah-masalah itu akan berubah dari sesuatu yang mudah menjadi sesuatu yang sulit, dari sesuatu yang sederhana menjadi sesuatu yang rumit (complicated). Oleh karena masalah-masalah itu dibawa ke dalam pembedahan ilmu, maka ia menjadi sesuatu yang diperselisihkan dan diperdebatkan. Perselisihan tentangnya menyebabkan perbedaan dalam cara memandang dunia (world view), sehingga pada gilirannya muncul perbedaan ideologi. Seperti itulah realita kehidupan manusia yang memiliki aneka ragam sudut pandang dan ideologi. Dalam hal ini, ilmu tidak lagi menjadi satu aktivitas otak, yaitu menerima, merekam, dan mengolah apa yang ada dalam benak, tetapi ia menjadi objek



Para pemikir menyebut ilmu tentang ilmu ini dengan  
Epistemologi
(teori pengetahuan atau Nadzariyyah al ma'rifah)

Kajian tentang Epistemologi sebenarnya belum terlalu lama, yaitu sejak tiga abad yang lalu dan berkembang di dunia barat. Sementara di dunia Islam kajian tentang ini sebagai sebuah ilmu tersendiri belum populer. Belakangan beberapa pemikir dan filusuf Islam menuliskan buku tentang epistemologi secara khusus seperti, Muthahhari dengan bukunya "Syinakht", Muhammad Baqir Shadr dengan "Falsafatuna"-nya, Jawad Amuli dengan "Nadzariyyah al Ma'rifah"-nya dan Ja'far Subhani dengan "Nadzariyyah al Ma'rifah"-nya. Sebelumnya, pembahasan tentang Epistemologi hanya di bahas di sela-sela buku-buku filsafat klasik dan ilmu mantiq. Berbeda dengan orang-orang Barat, mereka sangat menaruh perhatian yang besar terhadap kajian ini, karena situasi dan kondisi yang mereka hadapi. 

Dunia barat (baca: Eropa) telah mengalami ledakan kebebasan berekspresi dalam segala hal yang sangat besar dan hebat sehingga merubah cara berpikir mereka. Mereka telah bebas dari trauma intelektual yang dibatasi (setidaknya menurut mereka). Masa Renaissance adalah titik balik yang paling berjasa bagi mereka dalam menutup abad kegelapan Eropa yang panjang dan membuka lembaran sejarah mereka yang baru. Supremasi dan dominasi gereja atas ilmu pengetahuan telah hancur. Sebagai akibat dari runtuhnya gereja yang memandang dunia dangan pandangan yang apriori atas nama Tuhan dan agama, mereka mencoba mencari alternatif lain dalam memandang dunia (baca: realita). 

Sejak saat itulah bermunculan berbagai aliran pemikiran yang bergantian dan tidak sedikit yang kontradiktif. Namun secara garis besar aliran-aliran yang sempat muncul dan dapat bertahan hingga sekarang hanya ada dua, yakni aliran rasionalis dan empiris. Dari kalangan kaum rasionalis kita mengenal ada Descartes, Imanuel Kant, Hegel dan lain-lain. Dan dari kaum empiris ada Auguste Comte dengan Positivismenya, Wiliam James dengan Pragmatismenya, Francis Bacon dengan Sensualismenya.

Berbeda dengan barat, di dunia Islam tidak terjadi ledakan seperti itu, karena dalam Islam agama dan ilmu pengetahuan berjalan seiring dan berdampingan, meskipun terdapat beberapa friksi antara agama dan ilmu, tetapi itu sangat sedikit dan terjadi karena interpretasi dari teks agama yang terlalu dini. Namun secara keseluruhan agama dan ilmu saling mendukung. Malah tidak sedikit dari ulama Islam yang menjadi pemikir hebat tanpa meninggalkan agamanya seperti: Ibnu Sina, al Farabi, Jabir bin al Hayyan, al Khawarizmi, Syekh al Thusi dan yang lainnya. Oleh karena itu, ledakan intelektual dalam Islam tidak terjadi. Perkembangan ilmu di dunia Islam relatif stabil dan tenang.

Filsafat
Filsafat berasal dari bahasa Yunani yang telah di-Arabkan. Kata ini barasal dari dua kata "philos" dan "shopia" yang berarti pecinta pengetahuan. Konon yang pertama kali menggunakan kata "philoshop" adalah Socrates. (dan masih konon juga) Dia menggunakan kata ini karena dua alasan, Pertama, kerendah-hatian dia. Meskipun ia seorang yang pandai dan luas pengetahuannya, dia tidak mau menyebut dirinya sebagai orang yang pandai. Tetapi dia memilih untuk disebut pecinta pengetahuan. Kedua, pada waktu itu, di Yunani terdapat beberapa orang yang menganggap diri mereka orang yang pandai (shopis). Mereka pandai bersilat lidah, sehingga apa yang mereka anggap benar adalah benar. Sehingga yang terjadi pada waktu itu kebenaran hanya tergantung pada apa yang mereka katakan. Sedangkan kebenaran yang riil hampir tidak pernah ada. 

Akhirnya, sebagai imbas dari kebenaran yang dibatasi hanya pada perkataan orang-orang tertentu saja, manusia waktu itu terjangkit sikap skeptis. Mereka ragu-ragu terhadap segala sesuatu, karena apa yang mereka anggap benar belum tentu benar menurut orang-orang shopis (yang memegang kebenaran dengan klaimnya sendiri). Dalam keadaan seperti ini, Socrates merasa perlu membangun kepercayaan kepada manusia bahwa kebenaran itu ada dan tidak harus tergantung kepada kaum shopis. Dia berhasil dalam upayanya itu dan mengalahkan kaum shopis. Meski Socrates berhasil, ia tetap tidak ingin dikatakan pandai, tetapi ia memilih kata philoshop sebagai sindiran kepada mereka yang sok pandai.

Kemudian perjuangannya dilanjutkan oleh Plato, yang dikembangkan lebih jauh oleh Aristoteles. Aristoteles menyusun kaidah-kaidah berpikir dan berdalil yang kemudian dikenal dengan logika (mantiq) Aristotelian.
Pada mulanya kata filsafat berarti segala ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia. Mereka membagi filsafat kepada dua bagian yakni, filsafat teoritis dan filsafat praktis. Filsafat teoritis mencakup: (1) ilmu pengetahuan alam, seperti: fisika, biologi, ilmu pertambangan dan astronomi; (2) ilmu eksakta dan matematika; (3) ilmu tentang ketuhanan dan methafisika. Filsafat praktis mencakup: (1) norma-norma (akhlak); (2) urusa rumah tangga; (3) sosial dan politik. Filusuf adalah orang yang mengetahui semua cabang-cabang ilmu pengetahuan tadi.

Bersambung.............

Label