Senin, 03 Mei 2010

Sosiologi Agama ; Manusia dan hubungannya dengan masyarakat

(Makalah ini dibuat & pernah didiskusikan oleh: Kukuh Budiman, dalam kelas "Sosiologi Agama" Jurusan Tafsir Hadis Fak.Ushuluddin UIN SuKa 2009)

Pengantar.

Pada dasarnya setiap Agama membawa misi sebagai pembawa kedamaian dan keselarasan hidup. Baik itu Agama Islam sendiri dan Agama lainnya. Namun, dalam kenyataannya tidak jarang Agama bukannya menjadi pemersatu sosial tapi malah sebaliknya sebagai unsur konflik.

Hal ini disebabkan dengan adanya truth klaim pada tiap-tiap pemeluknya. Berbicara dalam konteks ke-Islaman, “Misal” kita mengenal;
     
Artinya:
"Tidaklah Kami turunkan engkau (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta" .

Ayat tersebut menjelaskan maksud Allah SWT menurunkan rasulNya, Muhammad SAW, yaitu untuk menjadi rahmat bagi alam semesta. Alam semesta dapat didefinisikan sebagai jagat raya yang didalamya termasuk manusia, tumbuhan, hewan, makhluk hidup lainnya, serta makhluk tidak hidup. Rahmat pada umumnya mengandung pengertian kasih sayang, keadilan, dan kesejahteraan.

Dengan demikian tujuan Islam adalah identik dengan tujuan pembawanya, Muhammad SAW, yaitu membawa ajaran kasih sayang, keadilan, dan kesejahteraan bagi alam semesta. Rahmatan lil alamin bukanlah sekedar motto Islam, tapi merupakan tujuan dari Islam itu sendiri. Sesuai dengan tujuan tersebut, maka sudah sewajarnya apabila Islam menjadi pelopor bagi kehidupan sosial.

Bagaimanapun baik serta agungnya sebuah teks suci (al-Qur’an), ia akan tetap tidak bermakna tanpa intervensi pikiran dan kesadaran manusia. Artinya; Intepretasi dan kesadaran manusia untuk merealisasikan pemahamnnya akan teks dalam kehidupan kongkrit itulah sesungguhnya yang membuat sebuah teks hidup, agung dan bermakna.

Kemudian keterlibatannya orang yang memahami al-Qur’an sebagai sumber pokok ajaran Islam itu di dalam hubungan-hubungan sosial, sedikit banyak akan mempengaruhi kondisi sosiologis masyarakatnya. Hingga ujungnya akan sampai pada proyek yang paling tinggi (Baca: Tingkat Aktualisasi) yaitu membentuk kebudayaan masyarakatnya dan kesadaran akan identitasnya sebagai manusia, Hamba sekaligus Kholifatul fil ard sebagaimana yang di idealkan oleh Islam sebagai agama Rahmatan Lil Alamin.......

Dalam makalah yang singkat ini tidak akan, atau lebih tepatnya tidak mungkin, jika harus mengupas habis studi tentang pengaruh agama terhadap masyarakat / perubahan masyarakat sebagaimana yang diidealkan oleh sudut pandang Sosiologi Agama namun hanya sebagian saja. Manusia adalah unsur pokok dari masyarakat, kiranya akan menarik jika saat ini (sebagai awal dari perkuliahan sosiologi agama) kita berbicara tentang “Manusia itu sendiri”. Bagaimana al-Quran (Sebagai dasar ajaran Islam) memandang kedudukan Manusia dalam masyarakat.

Pembahasan.

Perubahan sosial yang sangat cepat di masyarakat sangat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh ilmu dan teknologi serta pertumbuhan berbagai sistem kepercayaan dan pandangan hidup. Sekalipun perubahan merupakan hal yang pasti karena sebagai mana sebuah pernyataan filosofis yang penulis pikir teman-teman sudah mafhum bahwa di dunia ini tidak ada yang berubah selain perubahan itu sendiri. Perubahan itu selalu saja meniscayakan adanya sebuah bentuk ideal yang menjadi acuan bagi masyarakat untuk mengejar dan mencapai bentuk ideal itu.

Tidak dapat dipungkiri bahwa para pakar sosiologi (sosiolog) senantiasa melaihat kondisi sosial berdasarkan sudut pandang yang berbeda sesuai dengan latar belakang akademik dan pengalaman hidupnya. Namun sebagai akademisi muslim (UIN Tafsir-Hadis lagi), kita mempecayai bahwa al-Qur’an juga telah menggariskan satu bentuk ideal masyarakat sebagai acuan umat Islam dalam kehidupan sosial. Oleh karenanya pembahasan tentang Manusia dan Masyarakat sudah selayaknya kita refleksikan dengan ma qalla al-Qur’an.

1. Gambaran singkat masyarakat Arab yang penuh ketimpangan sosial.
Sebagaimana termaktub dalam surat Al-Anbiya:107 diatas serta beberapa ayat-ayat dalam al-Qur’an, tidak berlebihan kiranya jika dikatakan salah satu tujuan al-Qur’an adalah menegakkan tata masyarakat yang adil. Celaan-celaan al-Qur’an terhadap ketimpangan sosial dan ekonomi yang menjadi pola hidup masyarakat Arab jahiliah adalah salah satu hal nyata dari bentuk perlawanan al-Qur’an.

Masyarakat Arab pra-Islam atau yang sering kita bahasakan “jahiliah”, adalah masyarakat yang terbiasa hidup di tengah gurun pasir, bagi mereka gurun pasir bukan sekedar tempat tinggal mereka. Lebih dari itu gurun pasir dengan segala kekejamannya merupakan penjaga tradisi sakral mereka serta benteng pertama dan utama dari serangan luar. Sumber air yang susah didapat, Panas yang terik menyengat, jejak yang mudah terhapus & kurangnya persediaan makanan menjadikan pola hidup mereka susah terkontraminasi dengan peradaban moderen.

Keyakinan yang begitu kuat akan tradisi leluhur serta kebutuhan hidup yang sangat mendesak ditengan keterisolirannya, menjadikan bangsa Arab terbiasa dengan istilah penipuan, pengumpatan, penimbunan harta serta penindasan.

Ke-khawatiran akan pengurangan harta dan kerugian yang besar menjadikan mereka tega membunuh keturunan yang dianggap tidak berguna (Wanita) yang bagi mereka itu adalah Aib. Serta bagi orang yang tidak mampu secara financial akan melakukan segala cara untuk mempertahankan hidup, tak terkecuali menjual diri dll. Kebutuhan akan perlindungan membuat mereka mau melakukan apapun demi kelompoknya, termasuk perang dan perbuatan-perbuatan lainnya yang tak kalah biadab.

Al-Qur’an terus-menerus mengecam ketimpangan-ketimpangan tersebut, ketimpangan ekonomi yang nota benenya adalah akar dari ketimpangan sosial misal, sangat jelas disebutkan dalam firmannya:
               
Artinya:
Bermegah-megahan Telah melalaikan kamu, Sampai kamu masuk ke dalam kubur, Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), Dan janganlah begitu, kelak kamu akan Mengetahui. (102: 1-4)

           •      •                 
Artinya:
Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela, Yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung, Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengkekalkannya, Sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah, Dan tahukah kamu apa Huthamah itu?, (yaitu) api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan, Yang (membakar) sampai ke hati. (104:1-7)

2. Pandangan Singkat Tentang Hakekat Manusia.
Manusia merupakan makhluk yang tertinggi dia adalah wakil Tuhan di bumi (Kholifatul fil ard). Fitrah manusia membuatnya berkeinginan suci dan secara kodrati cenderung kepada kebenaran (hanief) sebagaimana disebutkan dalam surat al-Rum: 30. Fitrah merupakan bentuk keseluruhan tentang diri manusia yang secara asasi dan prinsipil membedakannya dari makhluk-makhluk yang lain. Dengan memenuhi hati nurani, seseorang berada dalam fitrahnya dan menjadi manusia sejati .

Karena secara fitrahnya manusia cenderung kepada kebenaran, kebaikan dan keindahan, maka manusia secara dasar/ asasi disebut sebagai mahluk yang mempunyai cita-cita dan cenderung kepada sesuatu yang ideal (mahluk ideal).

Dalam arti tidak mau menerima “apa adanya” dan tetap selalu berusaha mewujudkan “apa yang semestinya atau apa yang seharusnya”. Hanya manusia yang dapat membentuk lingkungannya. Dengan kesadaran atau pikirannya, ia selalu menginginkan sesuatu yang lebik baik, begitulah seterusnya. Apabila manusia tidak mempunyai nilai kemanusiaan ini, maka dapat dipastikan, manusia saat ini akan tetap dalam keadaan yang sama seperti ratusan tahun yang lalu, tidak maju-maju dan tidak bisa mampu menciptkan sebuah peradaban.

Selanjutnya, masih menurut Ali Syari’ati, bahwa selain sebagai mahluk ideal, masih ada beberapa nilai dasar manusia lainnya yang disepakati bersama. Manusia adalah mahluk yang memiliki kehendak bebas. Kebebasan memilih adalah sifat Ilahiah yang ada dalam diri manusia.

Manusia adalah mahluk yang sadar (berpikir). Ini merupakan karakteristik menonjolnya. Manusia adalah mahluk yang sadar akan eksistensinya. Manusia adalah mahluk yang kreatif. Manusia adalah mahluk yang bermoral. Kehidupan manusia dinyatakan dalam amal perbuatannya (al-Taubah: 105 dan al-Najm:39)

3. Pandangan Awal Manusia Sebagai Manusia yang Seutuhnya.
Menarik sekali jika kita melakukan kajian filologis terhadap terminologi yang digunakan al-Qur’an. Semisal untuk mengatakan “Manusia” dalam al-Qur’an setidaknya ada tiga kata kunci (key terms) yaitu Basyar – Insan dan an-Nas yang mengacu pada makna pokok (Basic meaning) dan makna nasabi (relation meaning) .

Selain itu ada konsep lain yang dipergunakan, namun dalam porsi yang lebih kecil dan secara maknawi masih bisa dilacak dari tika Key Terms diatas. Semisal istilah Unas yang disebutkan sebanyak lima kali dalam al-Qur’an merujuk pada (bermakna) kelompok atau golongan manusia. Kata an-nasi yang merupakan wujud jama’ dari Insan disebut satu kali dalam al-Qur’an yang bermakna kumpulan manusia yang banyak. Satu lagi adalah kata Ins tercantum sebanyak 18 kali dalam al-Qur’an dan selalu digabungkan dengan kata Jin sebagai pasangan makhluk tuhan yang Mukallaf.

Manusia hidup di tengah alam dan sebagai makhluk sosial hidup di tengah sesama (Masyarakat). Dari segi ini manusia adalah bagian dari masyarakat dan keseluruhan alam yang merupakan suatu kesatuan. Tujuan hidup manusia adalah menuju kepada insan yang diciptakan sebaik-baiknya dan khaira ummah (umat yang terbaik), yang beriman kepada Allah swt, selalu menyuruh dan melaksanakan yang baik serta mencegah perbuatan yang keji lagi mungkar. Karena, manusia diciptakan wujudnya terlebih dahulu, baru kemudian ia membentuk hakikat dirinya.

Untuk mewujudkan manusia yang ideal dan masyarakat ideal, maka manusia harus selalu berbuat sesuatu yang baik dan berguna, baik untuk dirinya sendiri, masyarakat maupun yang berkenaan dengan alam. Manusia yang hidup berarti dan berharga adalah dia yang merasakan kenikmatan dan kebahagiaan dalam kegiatan-kegiatan yang membawa perubahan kearah kemajuan yang baik, baik mengenai alam maupun masyarakatnya, yaitu hidup berjuang dalam arti seluas-luasnya. Ia diliputi oleh semangat mencari kebenaran, kebajikan dan keindahan. Akan tetapi, nilai-nilai ini belum dikatakan hidup dan berarti sebelum menjelma dalam amaliah yang nyata dan konkrit.

Dengan begitu; Manusia sebagai khalifah Allah dituntut untuk mampu menciptakan piranti kehidupannya, yaitu kebutuhan rohani (ilmu, seni, budaya, sastra), kebutuhan jasmani atau fisik (sandang, pangan, perumahan, peralatan teknologi), dan kebutuhan sosial (sarana ibadah, sarana pendidikan, sarana pembangunan, angkutan umum dll).

Maka dengan karunia Allah, berupa akal budi, cipta, rasa, dan karsa manusia mampu menciptakan kebudayaan. Manusia dengan akal budinya mampu mengubah nature menjadi kultur, mampu mengubah alam menjadi kebudayaan. Manusia tidak hanya semata-mata terbenam di tengah-tengah alam, justru manusia mampu mengutik-utik alam dan mengubahnya menurut kemauannya sehingga tercipta apa yang dinamakan kebudayaan.

Seperti dikatakan C.A. Van Peursen, “Manusia berlainan dengan hewan-hewan, maka manusia tidak hidup begitu saja di tengah-tengah alam, melainkan selalu mengubah alam itu. Entah manusia menggarap ladangnya atau membuat sebuah laboratorium untuk penyelidikan ruang angkasa, entah manusia mencuci tangannya atau memikirkan suatu sistem filsafat, pokoknya hidup manusia lain dari hidup seekor hewan, ia selalu mengutik-utik lingkungan hidup alamiyahnya, dan justru karena itulah kita menemukan apa yang kita namakan dengan peradaban yang sering sekali kita banggakan sebagai puncak kecerdasan dan kesempurnaan penciptaan manusia...?”.

4. Manusia dan Masyarakat.
Dari sudut pandang sosiologi agama, Masyarakat menjadi "masyarakat" karena fakta bahwa para anggotanya taat kepada kepercayaan dan pendapat bersama. Menurut Shariati, suatu masyarakat sebagaimana suatu obyek, yang akibat berbagai faktor dan kondisi tertentu masyarakat tersebut sangat mungkin untuk menyimpang dari posisi keseimbangannya ataupun menuju arah tertentu. Dan tentu saja arah yang dituju oleh suatu masyarakat yang berdasarkan akan suatu keyakinan tertentu akan menuju pada tujuan yang tertentu pula, jikalau keyakinan tersebut bermacam-macam maka tujuannya juga bermacam-macam, misalnya spritualisme dan kesalehan ekstrim dan kecenderungan kepada keakhiratan, atau menuju kepada kebalikannya yaitu materialisme atau korupsi ekstrimdan kecenderungan kepada keduniawian.

Hubungan antara agama dengan masyarakat tidak hanya terlihat di dalam masalah ritual keagamaan saja. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak mungkin memenuhi kemanusiaannya dengan baik tanpa berada ditengah sesamanya dalam bentuk hubungan-hubungan tertentu. Tetapi karena adanya hubungan itu secara otomatis membawa pada pergesekan kemerdekaan pribadi. Maka timbul perbedaan-perbedan antara suatu pribadi dengan lainnya al-Zuhruf: 32 menggambarkan:
        •                    
Artinya:
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? kami Telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami Telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”.

Durken, seorang ahli sosiologi mengatakan bahwa: “Manusiaa adalah dua subtansi jiwa pada diri masyarakat”. Ini menunjukkan bahwa selain ada kemerdekaan individu juga ada istilah kemerdekaan manusia yang sifatnya lebih luas “Masyarakat” menyangkut kepentingan bersama (Baca: Keharusan Universal).

Sebenarnya perbedaan-perbedaan itu adalah untuk kebaikannya sendiri, sebab kenyataan yang penting dan prinsipil, ialah bahwa kehidupan ekonomi, sosial dan kultural menghendaki pembagian kerja yang berbeda-beda (Al-Maidah: 48).
          •                           •                    
Artinya:
Dan kami Telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang Telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang Telah kamu perselisihkan itu.

Pemenuhan suatu bidang kegiatan guna kepentingan masyarakat adalah suatu keharusan, sekalipun hanya oleh sebagian anggotanya. Karena memang secara kodrati usaha manusia itu haruslah berbeda-beda. Justru dengan perbedaan itu proses interaksi sosial akan berjalan, saling tolong menolong untuk memenuhi kebutuhan hidup yang akan membuat hidup ini lebih manusiawi. Hal ini dilukiskan dalam surat al-Lail : 4.
•   
Artinya:
Sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda.

a. Ekonomi; Salah Satu Akar Masalah Dalam Kehidupan Ber-Masyarakat.
Sebagaimana disebutkan diatas bahwa al-Qur’an terus menerus mengecam ketimpangan ekonomi karena inilah yang paling sulit disembuhkan dan terlalu sering menjadi inti dari ketimpangan sosial (Baca: Penyebab) sebagaimana yang kita lihat dalam sejarah / seting masyarakat Arab sewaktu al-Qur’an itu diturunkan. Namun celaan-celaan al-Quran terhadap para tengkulak, pengumpat dan penindas ekomomi rakyat itu tidak hserta merta menunjukkan bahwa al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam itu menolak atau melarang manusia untuk memperkaya diri. Namun sebaliknya al-Qur’an memberikan nilai yang tinggi terhadap kekayaan dengan sebutan-sebutan sebagai kelimpahan dari Allah “Fadhl Allah” seperti terungkap dalam firmannya:
               
Artinya:
Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (QS. Al-Jum’ah: 10)
Dalam beberapa ayat yang llainnya al-Qur’an juga membahasakannya sebagai kebaikan “Khair” Sebagaimana terungkap dalam QS.al-Baqarah: 272-273
                                                     •           
Artinya:
Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya. dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), Maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan Karena mencari keridhaan Allah. dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya (dirugikan).
(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang Kaya Karena memelihara diri dari minta-minta. kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), Maka Sesungguhnya Allah Maha Mengatahui.
Adapun yang sering disorot oleh al-Qur’an adalah penyalahan dari penggunaan kekayaan tersebut, karena penyalah gunaan kekayaan tersebut dapat menghalangi manusia didalam mencari nilai-nilai luhur. Perjuangan manusia yang hanya diorientasikan pada masalah duniawi (Harta) akan menjadikan mereka hanya mengetahui dan mempedulikan keihdupan duniawi saja dan melupakan tujuan hidup yang mulia (limardatillah).
          
Artinya:
Mereka Hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai. ( QS: ar-Rum 7)
Tanpa keinginan untuk meningkatkan kesejahteraan orang-orang yang miskin, shalat sekalipun akan menjadi semacam perbuatan yang munafik. Sikap tidak mempedulikan orang-orang yang memerlukan bantuan ekonomi mencerminkan kepicikan dan kesempitan akal.
                               
Artinya:
Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?, Itulah orang yang menghardik anak yatim, Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin, Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, Orang-orang yang berbuat riya, Dan enggan (menolong dengan) barang berguna. (QS.Al-Ma’un 1-7).
Bukan hanya orang Makah (yang secara geografis langsung terkena teguran al-Qur’an karena memang al-Qur’an turun disana) sebenarnya yang disoroti oleh al-Quran pada ayat-ayat diatas. Karena secara kasus masalah keinginan untuk menperkaya diri, keinginan untuk berjihad dijalan Allah dengan hartanya, sampai masalah dibutakannya manusia oleh duniawi, menghardik anak yatim, memakan harta riba, kikir dan sebagainya juga terjadi pada realitas masyarakat saat ini.
Demikian baiknya al-Qur’an merekam hal-hal yang bersifat universal sehingga tetap relefan di setiap zaman, termasuk ketika sekarang apabila kita berbicara masalah keadilan ekonomi dalam Islam setidaknya kita dapat mengatakan adanya persamaan secara garis besar apa yang terjadi pada akar sistem ekomomi sekarang dengan apa yang disindir secara halus ataupun kasar dalam al-Qur’an. Masalah kapitalisme yang cenderung menginginkan kelipatan keuntungan sebesar-besarnya dengan menekan jumlah pekerja sebenarnya sudah disindir oleh al-Qur’an Surat al-Lail:4.
Secara garis besar bisa disebutkan cita-cita ekonomi Islam adalah agar “kekayaan” tidak berputar dikalangan orang kaya saja (baca: Keadilan Ekonomi), secara tegas hal ini diungkapkan al-Qur’an;
•                                 •   •    
Artinya:
Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya. (QS.59:7)

b. Relasi Agama dan Sosial.
          •            •        
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.(al-Maidah :8).
Siapakah yang harus menegakkan keadilan dalam masyarakat, sudah pasti adalah masyarakat sendiri, tetapi dalam prakteknya diperlukan adanya kelompok dalam masyarakat yang karena kualitas-kualitas yang dimilikinya senantiasa mengadakan usaha-usaha menegakkan keadilan itu dengan jalan selalu menganjurkan sesuatu yang bersifat kemanusiaan serta mencegah terjadinya sesuatu yang berlawanan dengan kemanusiaan sebagaimana semangat Ali Imran: 104.
Ajaran agama adalah untuk dihayati dan diamalkan, agar tidak keluar dari koridor umum yang dikehendaki oleh agama, maka agama itu harus menyatu terlebih dahulu dengan nafas manusia. Menurut Hans Kung, agama bukan hanya menyangkut hal-hal yang teoritik, melainkan hidup sebagaimana yang kita hayati. Agama menyangkut sikap hidup, pendekatan terhadap hidup, cara hidup, dan yang terpenting adalah menyangkut perjumpaan atau relasi yang oleh Rudulf Otto dinamakan sebagai The Holy. Agama selalu menyangkut basic trust seseorang terhadap hidup dan menyangkut “ya” atau “tidak” terhadap hidup. Menurut Kung, secara eksistensial, sadar atau tidak, manusia membutuhkan komitmen pada makna, dan komitmen pada norma.
Dalam hal ini agama selalu berkaitan dengan manusia. Sejarah agama selalu menyertai sejarah kemanusiaan. Agama tidak akan pernah hilang dari muka bumi ini semenjak dimulainya sejarah kemanusiaan hingga ia punah. Menurut Max Scheler (1874-1892 hal ini merupakan kemampuan tersendiri yang paling dasar dalam diri manusia. Bahkan, agama merupakan fitrah yang diturunkan yang telah menyatu dalam diri manusia semenjak kelahirannya.
Setiap agama membawa misi sebagai pembawa kedamaian dan keselarasan hidup, bukan saja antarmanusia, tetapi juga antar sesama makhluk Tuhan penghuni semesta ini. Dalam tataran historis, misi agama tidak selalu artikulatif. Saelain sebagai alat pemersatu sosial, agama pun menjadi unsur konflik. Bahkan, menurut Schimmel, dua unsur itu menyatu dalam Agama. Mungkin pernyataan ini agak berlebihan, Namun jika melihat perjalanan sejarah dan realitas dimuka bumi ini, pernyataan itu menemukan landasan historisnya sampai sekarang. Persoalannya, bagaimana realitas itu bisa memicu para pemelik agama untuk merefleksikan kembali ekspresi keberagamaannya yang sudah sedemikian mentradisi dalam hidup dan kehidupannya. Dalam Islam misal; ada beberapa doktrin yang menggambarkan tentang konsep masyarakat seperti termaktub dalam surat Ali Imran:104:
  •             
Artinya:
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.
Dari surat di atas, tampak bahwa ummah merupakan sebuah entitas yang memiliki karakter etis, berupa kecenderungan kepada sifat-sifat utama (khair). Entitas itu memiliki fungsi dan tugas profetik-transformatif, yakni menyerukan kebaikan (amar ma’ruf) dan mencegah kemungkaran (nahi mungkar). Ummah yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah sekelompok tertentu dalam masyarakat, bisa berupa organisasi, pemerintah (government), atau negara (state) sebagai bagian dari masyarakat.
  •  ••                     
Artinya:
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS.Ali Imran:110)
Cakupan ummah dalam surat ini lebih luas, yakni masyarakat itu sendiri. Ayat ini lebih menjelaskan model masyarakat terbaik (khairu ummah). Ciri utama masyarakat terbaik menurut ayat ini adalah terdapat mekanisme kelembagaan maupun non-kelembagaan untuk amar-ma’ruf dan nahi mungkar serta penduduknya beriman.
Bagi Kuntowijoyo, cita-cita penegakan amar ma’ruf dan nahi munkar dalam kerangka keimanan, merupakan akar semangat transformasi sosial secara terus-menerus dalam Islam. Amar ma’ruf, menurut Kunto, berarti humanisasi dan emansipasi, sedangkan nahi munkar bermakna liberasi. Dan karena keduanya berada dalam kerangka keimanan, maka humanisasi dan liberasi tidak bisa dipisahkan dari transendensi. Di setiap masyarakat, dengan struktur dan sistem apapun, dalam tahap historis manapun, lanjut Kunto, cita-cita untuk humanisasi, emansipasi, liberasi dan transendensi akan selalu memotivasi gerakan transformasi Islam. Semangat transformasi demikianlah yagn menjadi predikat utama ummah terbaik ini. Dan ummah terbaik yang dimaksud ayat tersebut adalah umat Islam. Jadi, cakupan ummahi yang dimaksud ayat ini hanya terbatas pada komunitas yang tersatukan oleh kesamaan agama yakni Islam.
Tentang siapa penyandang gelar khairu ummah ini sebenarnya ada beberapa pendapat:
(1) kaum muhajirin,
(2) mereka melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar,
(3) sahabat nabi,
(4) sahabat Nabi dan orang-orang yang berprilaku sebagaimana sahabat Nabi,
(5) orang-orang saleh diantara umat Muhammad, dan
(6) umat Muhammad karena mereka adalah umat terbanyak yang menerima Islam.

Nilai ideal ummah, bagi Kunto, tidak saja terletak pada fungsi transformatifnya, tetapi juga pada unsur konstitutifnya yang berupa nilai. Sistem nilai tauhid melahirkan sentimen kolektif berupa keimanan yang kemudian membentuk komunitas keimanan yagn kemudian membentuk komunitas yang disebut jama’ah, atau lebih bear lagi ummah. Komunitas ini secara intern dan ekstern membentuk sistem kelembagaan dan sistem otoritasnya sendiri.

Salam Penutup.
Al-Quran menyimpan potensi yang begitu dahsyat dengan misteri dan kelebihannya. Dan jika al-Qur’an merupakan sebuah kitab suci yang Shalihun li kulli zaman wa makan : Kitab suci yang sesuai untuk segala zaman dan tempat, sebuah kitab suci yang universal, melampaui waktu dan tempat yang dialami manusia, Maka harus dipahami bahwa ia diturunkan pada abad ke 20 juga, seolah-olah Muhammad baru saja wafat dan memberitahukan langsung kepada kita, berarti ia adalah korpus terbuka dan sangat potensial untuk menerima segala bentuk eksploitasi, baik berupa pembacaan, penerjemahan, hingga penafsiran. Kehadiran teks al-Qur’an di tengah umat Islam telah melahirkan pusat pusaran wacana keislaman yang tak pernah berhenti dan menjadi pusat inspirasi bagi manusia untuk melakukan penafsiran dan pengembangan makna ayat-ayatnya.
Jika kita lihat khazanah tafsir dengan seluruh macam madzhabnya, kita akan tahu bahwa sesungguhnya Al-Qur’an hanyalah “alat” saja untuk membangun teks-teks lain yang dapat memenuhi kebutuhan dan selera suatu masa tertentu setelah masa turunnya Al-Qur’an itu sendiri. Seluruh tafsir itu ada dengan sendirinya dan untuk dirinya sendiri. Dia merupakan karya intelektual serta produk budaya yang lebih terikat dengan konteks kultural yang melatarinya, dengan lingkungan sosial masyarakat atau teologi yang menjadi “payungnya” nya daripada dengan konteks Al-Qur’an itu sendiri.
Kiranya baru sedikit ini yang mampu pemakalah paparkan dalam bentuk tulisan, harapannya dapat didiskusikan dengan hangat dan harmonis sehingga memunculkan kritik dan saran yang membangun. Kajian tentang Manusia dan hubungannya dengan masyarakat ditinjau dari sudut pandang sosiologi Agama yang dalam hal ini lebih condong pada ke-Islaman-nya jelas tidak mungkin dapat diwakili oleh tulisan yang sedikit ini.



Refrensi

Al-Qur’an Digital.
Soleh, Ahmad Khuldi dkk; Pemikiran Islam Kontemporer, Hermeneutika Humanistik Hasan Hanafi. Jendela, Yogyakarta 2003
Rahman, Fazlur; Tema-tema pokok al-Qur’an. Pustaka Bandung 1996
Hitti, Philip K; History of Arabs. Serambi, Jakarta 2005
Majid, Nurcholis dkk; NDP HMI , Bab 2 “Pengertian-pengertian Dasar Tentang Kemanusiaan”. PB HMI, Jakarta
Syari’ati, Ali; Humanisme: antara Islam dan Mazhab Barat, Penerjemah. Afif Muhammad, cet.ii, Bandung: Pustaka Hidayah, 1996.
Taringan, Azhari Akmal; Islam Madzhab HMI, Tafsir Tema Besar NDP, Kultura (GP Press Group), Cipayung 2007
Ismail, Faisal; Paradigma Kebudayaan Islam, Studi Kritis dan Refleksi Historis, Tiara Ilahi Press, Yogyakarta, 1996.
Hussein, Mohamad Zaki; Sosiologi Agama Durkhaim,
Shariati, Ali; Islam dalam Perspektif sosiologi agama, IQRA, Bandung
Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi, Bandung: Mizan, 1994
al-Alusi, Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an al-Adzim wa sabi’l al-Masani, Jilid III, Juz IV hlm 44. Beirut: Dar al-Fikr, 1993
Mustaqim, Abdul; Madzahibut Tafsir : Peta Metodologi penafsiran al-Qur’an Periode Klasik hingga Kontemporer.(Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003)
Syahrur, Muhammad; (Terj) Prinsip dan dasar Hermeneutika al-quran kontemporer,
Hidayat, Komarudin; Memahami Bahasa Agama : Sebuah Kajian Hermeneutik. Jakarta: Paramadina, 1996
Arkoun, Mohammad; “Metode Kritik Akal Islam”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, nomor 6 vol. V 1994.
Abidin, Zainal & Syafi’i, Ahmad; Sosiosophologi, Cv Pustaka Setia. Bandung, 2002.
Johnson, Doyle Paul; Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jakarta: PT Gramedia, 1986
Abdullah, Syamsudin; Agama dan Masyarakat Pendekatan Sosiolgo Agama, Logos, Jakarta: 1997

Label