Selasa, 14 Desember 2010

Relasi Agama & Negara; Sebuah Muqadimah

Agama & Negara merupakan institusi yang sangat penting bagi masyarakat. Para sosiologi teoetisi politik Islam merumuskan beberapa teori tentang hubungan Agama dan Negara. Teori tersebut secara garis besar dibedakan menjadi tiga paradigma pemikiran:
1. Paradigma Intergralistik; Dalam paradigma intergralistik, agama dan negara menyatu (intergreted).
2. Paradigma Simbiotik; Agama dan negara, menurut paradigma ini, berhubungan secara simbiotik / hubungan yang bersifat timbal balik dan saling menguntungkan (Simbiotik mutualisme).
3. Paradigma Sekularistik; Pandangan atau faham ini sangat menganjurkan pemisahan (disparitas) agama atas negara dan pemisahan negara atas agama.

Dari ketiga Paradigma diatas Indonesia secara umum masuk pada paradigma kedua (Paradigma Simbiotik)dimana peran Agama & Negara Tidak menyatu (Indosesia bukan Negara Islam meski mayoritas masyarakatnya Islam) dan tidak terpisah. Negara Indosesia menjamin kebebasan beragama serta melindungi para penganut agama sebagaimana disebutkan dalam UUD 1945 bahwa "tiap-tiap penduduk diberikan kebebasan untuk memilih dan mempraktikkan kepercayaannya" dan "menjamin semuanya akan kebebasan untuk menyembah, menurut agama atau kepercayaannya".

Tidak dapat disangkal bahwa kedudukan Agama dalam suatu masyarakat pasti dimaknai sebagai sumber etika moral dan mempunyai kedudukan yang sangat vital. Agama memiliki kaitan yang sangat erat dengan perilaku seseorang dalam interaksi sosial kehidupannya. Agama apapun pada dasarnya mengajarkan kebaikan, namun dalam beberapa lokus masyarakat, Agama juga hampir selalu dijadikan sebagai alat ukur atau pembenaran (Justifikasi) dalam setiap langkah kehidupan. Pembenaran atas nama Agama itu terjadi dalam interaksi terhadap sesama maupun kepada sumber Agama tersebut “Hubungan dengan sesama Manusia dan hubungan dengan Tuhannya”. Akibatnya dalam ranah horisontal (Hubungan sesama manusia) konflik antar agama sering kali tidak terelakkan.

Gesekan-gesekan tersebut (Konflik antag agama) pada dasarnya dapat diredam jika masyarakat yg beragama mau memahami pentingnya kebersamaan dan kerukunan hidup antar Agama demi kemajuan bersama. Pada tataran inilah seharusnya Negara mengambil peran, bagaimana usaha negara memunculkan kecintaan tanah air dan kebersamaan sehingga semboyan bhineka tunggal ika bisa terwujud. Bukan hanya pada wilayah "Sosialisasi kerukunan antar umat beragama", Negara dengan haknya hendaknya juga mampu menciptakan system yang mengatur wacana tersebut sehingga mampu mengakomodir semua Agama yang ada di dalam Negri ini & kerukunan antar umat beragama tidak hanya mencadi wacana & omong kosong belaka.

Hal ini menjadi penting karena perbedaan yang radikal dari system sebuah Negara dengan kepercayaan Masyarakat secara umum terlalu sering menimbulkan benturan-benturan antara Agama dan Negara. Untuk kasus Indonesia sendiri dalam kacah sejarah (Prespktf Islam - Indonesia) sebenarnya telah memberi contoh dengan melakukan usaha-usaha yang tak ringan. Bukan hanya dimolai sejak perebutan dasar Negara yang berakhir dengan dihapusnya tujuh kata piagam Jakarta, namun jauh sejak sebelum “RI” perjuangan mempertahankan nilai-nilai islam ataupun simbolisasi Islam yang tujuannya agar islam itu tetap axsis itu telah ada. Hal itu terus menggelinding dan belum sampai titik final, Dialektika hukum Islam dengan kekuasaan politik Negara Pancasila ini pun tak pelak lagi terjadi secara terus menerus. Pada wilayah inilah politik hukum suatu negara memegang peranan penting bahkan kadang menghegemoni dalam menentukan pelaksanaan sebuah hukum.

Meminjam istilah Bahtiar Effendy “Islam Multi Interpretatif”. Watak interpretatif ini kalau kita amati memang benar dan telah berperan sebagai dasar dari kelenturan Islam dalan sejarah. Selebihnya, hal itu juga mengisyaratkan keharusan pluralisme dalam tradisi Islam. Karena sebagaimana telah dikatakan oleh banyak pihak, Islam tidak bisa dan tidak seharusnya dilihat secara monolitik. Ini berarti bahwa Islam yang empirik dan aktual akan berarti lain bagi orang Islam lainnya. Dan sejajar dengan itu, ia akan dipahami dan digunakan secara berbeda. Jika perspektif ini diletakkan dalam konteks kehidupan politik Islam kontemporer, maka upaya untuk mendirikan negara Islam bisa dipahami secara berbeda oleh kalangan Islam yang lainnya. Apakah Islam sebagai symbol dalam suatu Negara ataukah Islam sebagai sebuah tatanan nilai dalam suatu Negara…? “sebuah perdebatan klasik yang tak ujung usai”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label