Senin, 27 Desember 2010

Akbar Tandjung: Kelembagaan HMI Harus Diperkuat


Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Akbar Tandjung, mengatakan, kelembagaan HMI harus diperkuat agar tidak terseret dalam dunia politik.

"HMI harus konsisten sebagai organisasi yang independen. Tidak masuk ke dalam carut marut perpolitikan yang ada," kata Akbar Tandjung dalam orasi politiknya pada Pelantikan Pengurus Besar HMI periode 2010-2012 di Tugu Proklamasi Jakarta, Senin malam.

Menurut dia, banyak alumni HMI yang masuk dunia politik, namun bukan berarti HMI terjebak dalam dunia politik.

"Kader-kader HMI harus memiliki sikap yang profesional sehingga HMI memiliki kekuatan moral yang akuntabel. HMI dibangun secara konsisten dari kekuatan moral, bukan kekuatan politik," katanya.

Akbar berharap kepemimpinan PB HMI periode 2010-2012 bisa memperkokoh HMI, memperkuat kelembagaan HMI, memperkuat basis kader-kadernya di kampus, sehingga tetap memiliki intelektualitas tinggi untuk mengatasi persoalan kompleks yang dihadapi bangsa ini.

HMI juga harus pro aktif memberikan masukan-masukan kepada pengambil kebijakan untuk kepentingan pembangunan bangsa dan berperan untuk mengawal demokrasi.

Diambil dari: http://www.antaranews.com/berita/1293468119/akbar-tandjung-kelembagaan-hmi-harus-diperkuat

Minggu, 19 Desember 2010

Gus Dur dan Siklus 100 Tahunan

Oleh: M. Mas'ud Adnan*

Hingga kini, mungkin publik belum tahu mengapa Gus Dur sering melawan arus sehingga terkesan kontroversial.Bapak demokrasi-pluralisme itu bahkan sering pasang badan ketika memperjuangkan prinsip kebenaran yang diyakini. Gus Dur, selain mewarisi sikap progresif-inovatif ayahnya, KH Abdul Wahid Hasyim, adalah penganut fanatik Thomas Carly. Menurut Carly, dunia membutuhkan pahlawan yang memiliki ''keberanian dan individualitas'' tersendiri. Prinsip Carly itu dipegang teguh oleh Gus Dur sejak muda, jauh sebelum terpilih sebagai ketua umum PB NU dalam muktamar ke-27 di Situbondo 1984.

Karena itu, mudah dipahami jika Gus Dur sangat teguh pendirian dan tampil sebagai pemimpin berkarakter. Gus Dur tak peduli meski harus berseberangan dengan para tokoh dan kiai sekalipun. Beliau tak peduli, apakah langkahnya memperjuangkan prinsip itu mengancam posisi dan popularitasnya. Sebab, pahlawan memang tak butuh aksesori sosial, seperti pujian atau popularitas.

Ketokohan Gus Dur yang ditopang oleh karisma, kecerdasan intelektual, dan geneologi kekiaian memang luar biasa. Bahkan, sebagian warga NU meyakini tokoh sekaliber Gus Dur hanya lahir sekali dalam 100 tahun. Jadi, kalau ingin ada Gus Dur lagi, kita harus menunggu 100 tahun lagi. Itu dianalogikan dengan kelahiran para mujaddid a'dham(pembaru besar) yang lahir dalam 100 tahun sekali. Siklus 100 tahun tersebut mengacu kepada hadis riwayat Abu Daud: Innalaha yab'astsu lihadzihil ummah 'ala ra'syi kulli miatin sanatin man yujaddidu laha amra diniha. Dalam redaksi lain, yub'atsu lihadzihil ummah fikulli sanatin man yujaddidu amra diniha.

***

KH Muchit Muzadi dan KH M. Cholil Bisri menyebut Gus Dur sebagai jimat NU. Sebutan itu secara faktual tidak berlebihan karena Gus Dur hadir membawa perubahan saat NU sedang dalam masa suram, tak berwibawa. Apalagi, sejak 1970-an -sebelum menjadi ketua umum PB NU- Gus Dur aktif membangun wacana tanding (counter discourses) tentang NU (Umar Masdar: 2005). Lewat tulisan-tulisannya di media massa, Gus Dur mengangkat tema kegenialan NU dan budaya pesantren.

Langkah Gus Dur itu strategis karena -seperti dikeluhkan Benedict R. O'G Anderson, ahli Indonesia dari AS- sampai 1975 tidak ada tulisan tentang NU. Anderson menyatakan, pada 1975 itu sedikit sekali akademisi -terutama di Barat- yang tahu NU, bahkan belum ada disertasi doktor tentang NU. Anderson saat itu meragukan apakah segera ada disertasi tentang NU. Padahal, NU salah satu kekuatan sosial, kulural, keagamaan, dan politik yang sangat berpengaruh di Indonesia selama bertahun-tahun (Anderson: 1977).

Kemampuan intelektual Gus Dur yang mengangkat tema NU dan pesantren di media massa menjadi awal jawaban dari kelangkaan karya ilmiah tentang NU. Gerakan intelektual itu kian gencar setelah Gus Dur terpilih sebagai ketua umum PB NU. Gus Dur bahkan menghidupkan mesin NU lewat gerakan pembaruan pemikiran Islam inklusif -populer dengan pribumisasi Islam.

Buahnya, terjadi ledakan intelektual dalam NU. Anak-anak muda NU, selain banyak mengikuti jejak Gus Dur menulis di jurnal ilmiah dan media massa, secara akademis sukses. Banyak anak muda NU yang kini menyandang gelar magister, doktor, dan profesor, baik lulusan dalam maupun luar negeri. Begitu juga, buku tentang NU hampir terbit tiap bulan. Bahkan, banyak sekali peneliti dan kandidat doktor dari luar negeri mengambil tema tentang NU sebagai objek kajian disertasi sejak Gus Dur memimpin NU, selain tentang Gus Dur sendiri.

Gus Dur juga melakukan pemberdayaan civil society dengan para aktivis LSM, HAM, dan demokrasi. Gus Dur bahkan melakukan gebrakan ekonomi dengan obsesi mendirikan 2.000 Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Nusumma (NU-Bank Summa). Hingga kini, Nusumma eksis meski jumlahnya tak signifikan.

***
Berpijak dari sana, Gus Dur bukan cuma populer, tapi muncul -meminjam istilah Ulil Abshar Abdalla- mistifikasi terhadap Gus Dur. Mistifikasi adalah proses keyakinan mistik yang dilekatkan kepada seseorang yang dikagumi. Gus Dur, misalnya, diyakini sebagai waliyullah, weruh sa'durunge winarah, dan siapa yang menentang Gus Dur kualat. Namun, jika kita saksikan penghargaan publik setelah Gus Dur wafat, tampaknya ada benarnya. Konon, salah satu indikator wali, jika dia wafat, arus penghargaan massa terus mengalir secara permanen. Hingga kini, tiap hari ribuan orang menziarahi makam Gus Dur.

Maka, wajar jika lalu lahir massa pendukung Gus Dur yang dalam istilah Eric Hoffer disebut true believer, pemeluk teguh atau pendukung fanatik (Hoffer; 1993). Kelahirantrue believer itu masif, baik di kalangan gus, kiai, orang awam, maupun anak muda NU. Orang menyebut kelompok tersebut Gus Durian. Yaitu, kader-kader ideologis yang fanatik dan paham serta menyerap gagasan atau pemikiran Gus Dur.

Saya tekankan kepada kader ideologis untuk membedakan dengan ''santri kepentingan'' yang hanya memanfaatkan karisma Gus Dur untuk kepentingan subjektif politik. Santri kepentingan juga berbeda dengan santri pesantren yang memiliki ciri tawadlu,ikhlas, tanpa pamrih, dan sam'an watha'atan, sesuai kultur pesantren. Santri kepentingan adalah mereka yang hadir ke lingkungan Gus Dur untuk kepentingan politik pragmatis, tanpa memperjuangkan gagasan Gus Dur. Ironisnya, santri kepentingan itulah yang banyak mengitari Gus Dur. (*)

*). M. Mas'ud Adnan, Dirut Harian Bangsa, Sekjen Ikatan Keluarga Alumni Pesantren Tebuireng.

Tulisan ini sempat dimuat Jawa Pos, Senin, 08 Februari 2010,
Selain itu bisa dilihat juga pada situs: http://www.harianbangsa.com/index.php?option=com_content&view=article&id=2508:gus-dur-dan-siklus-100-tahunan-&catid=61:fikrah-kebangsaan&Itemid=53

Wallahua'lam...........

Faktor Person yang Mempengaruhi Prilaku Manusia

Ada dua macam psikologi sosial.

1. Psikologi sosial dengan huruf P besar
2. psikologi sosial dengan huruf S besar
Kedua pendekatan ini menekankan faktor-faktor psikologis dan faktor-faktor sosial. Atau dengan istilah lain faktor-faktor yang timbul dari dalam individu (faktor personal),dan faktor-faktor berpengaruh yang datang dari luar individu (faktor environmental).

McDougall menekankan pentingnya faktor personal dalam menentukan interaksi sosial dalam membentuk perilaku individu. Menurutnya, faktor-faktor personallah yang menentukan perilaku manusia. Menurut Edward E. Sampson, terdapat perspektf yang berpusat pada persona dan perspektif yang berpusat pada situasi. Perspektif yang berpusat pada persona mempertanyakan faktor-faktor internal apakah, baik berupa instik, motif, kepribadian, sistem kognitif yang menjelaskan perilaku manusia. Secara garis besar terdapat dua faktor.

Faktor Biologis
Faktor biologis terlibat dalam seluruh kegiatan manusia, bahkan berpadu dengan faktor-faktor sosiopsikologis. Menurut Wilson, perilaku sosial dibimbing oleh aturan-aturan yang sudah diprogram secara genetis dalam jiwa manusia. Telah diakui secara meluas adanya perilaku tertentu yang merupakan bawaan manusia, dan bukan perngaruh lingkungan atau situasi. diakui pula adanya faktor-faktor biologis yang mendorong perilaku manusia, yang lazim disebut sebagai motif biologis. Yang paling penting dari motif biologis adalah kebutuhan makan-minum dan istirahat, kebutuhan seksual, dan kebutuhan untuk melindungi diri dari bahaya.

Faktor Sosiopsikologis
Kita dapat mengkalsifikasikannya ke dalam tiga komponen:
Komponen Afektif
merupakan aspek emosional dari faktor sosiopsikologis, didahulukan karena erat kaitannya dengan pembicaraan sebelumnya.
Komponen Kognitif
Aspek intelektual yang berkaitan dengan apa yang diketahui manusia.
Komponen Konatif
Aspek volisional, yang berhubungan dengan kebiasaan dan kemauan bertindak.


MOTIF SOSIOGENESIS
Motif sosiogenesis disebut juga dengan motif sekunder sebagai lawan motif primer (motif biologis). Berbagai klasifikasi motif sosiogenesis :
W.I Thomas dan Florian Znanieckci :
1. Keinginan memperoleh pengalaman baru
2. Keinginan untuk mendapatkan respons
3. Keinginan akan pengakuan
4. Keinginan akan rasa aman

David McClelland :
Kebutuhann berprestasi (need for achievement)
Kebutuhan akan kasih sayang (need for affiliation)
Kebutuhan berkuasa (neef for power)

Abraham Maslow :
Kebutuhan akan rasa aman (safety needs)
Kebutuhan akan keterikatan dan cinta (belongingness and love needs)
Kebutuhan akan penghargaan (esteem needs)
Kebutuhan untuk pemenuhan diri (self-actualization)

Melvin H.Marx :
Kebuthan organismis :
Motif ingin tahu (curiosity)
Motif kompetensi (competence)
Motif prestasi (achievement)
Motif-motif sosial :
Motif kasih sayang (affiliation)
Motif kekuasaan (power)
Motif kebebasan (independence)
Motif sosiogenesis dapat dijelaskan dibawah ini :
1. Motif ingin tahu : mengerti menata dan menduga. Setiap orang berusaha memahami dan memperoleh arti dari dunianya.
2. Motif kompetensi : setiap orang ingin membuktikan bahwa ia mampu mengatasi persoalan kehidupan apapun
3. Motif cinta : sanggup mencintai dan dicintai adalah hal esensial bagi pertumbuhan kepribadian.
4. Motif harga diri dan kebutuhan untuk mencari identitas : erat kaitannya dengan kebutuhan untuk memperlihatkan kemampuan dan memperoleh kasih sayang, ialah kebutuhan untuk menunjukan eksistensi di dunia ini.
5. kebutuhan akan nilai, kedambaan dan makna hidup : Dalam menghadapi gejolak kehidupan, manusia membutuhkan nilai-nilai untuk menuntunnya dalam mengambil keputusan atau memberikan makna pada kehidupannya.
6. Kebutuhan akan pemenuhan diri : Kita bukan saja ingin mempertahankan hidup, kita juga ingin meningkatkan kualitas kehidupan diri kita; ingin memenuhi peotensi-potensi kita.

KONSEPSI MANUSIA DALAM PSIKOANALISIS
Sigmund Freud, pendiri psikoanaliss adalah orang yang pertama berusaha merumuskan psiologi manusia. Ia memfokuskan perhatiannya kepada totalitas kepribadian manusia.
Menurut Freud perilaku manusia merupakan hasil interaksi tiga subsitem dalam kepribadian manusia :

Id
Id bergerak berdasarkan prinsip kesenangan (pleasure principle), ingin memenuhi kebutuhannya. Id bersifat egoistis, tidak bermoral dan tidak mau tahu dengan kenyataan. Id adalah tabiat manusia hewani.

Ego
Ego berfungsi menjembatani tuntutan Id dengan realitas dunia luar. Ego adalah mediator anatara hasrat-hasrat hewani dengan tuntutan rasional dan realistik. Ego dapat menundukan manusia terhadap hasrat hewaninya.

Superego
Superego adalah polisi kepribadian, mewakili yang ideal. Superego adalah hati nurani (conscience) yang merupakan internalisasi dari norma-norma sosial dan kultural masyarakatnya. Ia memaksa ego untuk menekan hasrat-hasrat yang tak berlainan ke alam bawah sadar.
Dalam psikoanalisis perilaku manusia merupakan interaksi antara komponen biologis (Id), komponen psikologis (ego), dan komponen sosial (superego).

TEORI BEHAVIORISME
Teori Behaviorisme Adalah teori belajar yang lebih menekankan pada tingkah laku manusia. Memandang individu sebagai makhluk reaktif yang memberirespon terhadap lingkungan.Pengalaman dan pemeliharaan akan membentuk perilaku mereka. Dalam teori behaviorisme, ingin menganalisa hanya perilaku yang nampak saja, yang dapat diukur, dilukiskan, dan diramalkan. Pengalaman dan pemeliharaan akan membentuk perilaku mereka. Dari hal ini, timbulah konsep ”manusia mesin” (Homo Mechanicus).

Ciri dari teori ini adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat mekanistis, menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau respon, menekankan pentingnya latihan, mementingkan mekanisme hasil belajar,mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang diinginkan.

Edward Edward Lee Thorndike (1874-(1874-1949))
Menurut Thorndike belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi anatara peristiwa yang disebut stimulus dan respon. Teori Trial dan Error. Ciri-ciri belajar dengan Trial dan Error Yaitu : adanya aktivitas, ada berbagai respon terhadap berbagai situasi, adal eliminasai terhadap berbagai respon yang salah, ada kemajuan reaksi-reaksi mencapai tujuan.

Ivan Petrovich Pavlo (1849-1936)
Teori pelaziman klasik
Adalah memasangkan stimuli yang netral atau stimuli yang terkondisi dengan stimuli tertentu yang tidak terkondisikan, yang melahirkan perilaku tertentu. Setelah pemasangan ini terjadi berulang-ulang, stimuli yang netral melahirkan respons terkondisikan.

Skinner (1904-1990)
Skinner menganggap reward(penghargaan) dan rierforcement(peneguhan) merupakan factor penting dalan belajar. Skinner berpendapat bahwa tujuan psikologi adalah meramal mengontrol tingkah laku. Teori ini juga disebut dengan operant conditioning. Operans conditioning adalah suatu proses penguatan perilaku operans yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat diulang kembali atau menghilang sesuai keinginan.

Albert Bandura (1925-sekarang)
Ternyata tidak semua perilaku dapat dijelaskan dengan pelaziman. Bandura menambahkan konsep belajar sosial (social learning). Ia mempermasalahkan peranan ganjaran dan hukuman dalam proses belajar.

Behaviorsime memang agak sukar menjelaskan motivasi. Motivasi terjadi dalam diri individu, sedang kaum behavioris hanya melihat pada peristiwa-peristiwa eksternal. Perasaan dan pikiran orang tidak menarik mereka. Behaviorisme muncul sebagai reaksi pada psikologi ”mentalistik”.


Sumber; http://kuliahkomunikasi.com/category/psikologi-komunikasi/

Jumat, 17 Desember 2010

Percaya Diri



Mungkin anda sering mendengar kata-kata; Jika Anda percaya diri, maka Anda akan lebih tahan terhadap berbagai masalah yang anda hadapi. Jika Anda percaya diri, maka Anda akan lebih mampu menghadapi variasi dari situasi pribadi, sosial dan bisnis yang makin ketat dan semakin keras dari hari ke hari. Jika Anda percaya diri, maka Anda akan lebih tahan untuk berhadapan dengan orang-orang besar, dengan orang-orang penting bahkandengan orang yang paling kritis sekalipun. Ingatlah bahwa tekanan yang makin kuat tidak hanya dialami oleh diri Anda sendiri, melainkan juga oleh setiap orang lain yang hidup bersama Anda di dunia ini. Jika Anda percaya diri, maka Anda akan lebih mampu menghadapi orang lain yang makin hari makin keras dan bukan tidak mungkin makin menyebalkan….
Percaya diri membuat Anda berbeda. Percaya diri bukan masalah penampilan saja, terserah apakah anda kurus, hitam, gemuk, pendek atau mungkin cacat. Karena percaya diri lebih mengarah kepada kepribadian bukan fisik. Percaya diri akan meningkatkan harga diri, motivasi diri, dan yang lebih penting akan melejitkan potensi diri Anda. PD atau “Percaya Diri” secara umum muncul karena dua factor yaitu factor Eksternal (Dari luar) dan factor internal (dari dalam)

Faktor Eksternal
1. Pola Asuh:
Para ahli berkeyakinan bahwa kepercayaan diri bukanlah diperoleh secara instant, melainkan melalui proses yang berlangsung sejak usia dini, dalam kehidupan bersama orangtua. Meskipun banyak faktor yang mempengaruhi kepercayaan diri seseorang, namun faktor pola asuh dan interaksi di usia dini, merupakan faktor yang amat mendasar bagi pembentukan rasa percaya diri.
Sikap orang tua seperti perhatian, cinta dan kasih sayang serta kelekatan emosional yang tulus dengan anak, akan membentuk sifat percaya diri sang anak. Sementara orangtua yang kurang memberikan perhatian pada anak, sering memarahi, dan jarang memupuji, akan menumbuhkan ketidak percayaan mereka pada kemampua diri sendiri. Sang anak menjadi yakin bahwa ia bukan orang yang hebat yang bias melakukan sesuatu yang besar, bahkan lebih parahnya ia akan menganggap “Mustahil baginya untuk menjadi besar”. Selain itu tindakan perlindungan yang berlebih-lebihan overprotective juga menghambat perkembangan kepercayaan diri pada anak karena anak tidak pernah diberi kesempatan untuk memecahkan masalahnya sendiri.
2. Lingkungan
“Manusia adalah anak lingkungannya” terkadang memang ungkapan itu benar atau lebih sering benarnya. Manusia dibentuk oleh lingkungannya begitu juga dengan perkembangan rasa percaya dirinya. Lingkungan psikologis dan sosiologis yang kondusif akan menumbuhkan dan meningkatkan kepercayaan diri seseorang. Anak yang tumbuh di tengah lingkungan masyarakat yang mau menghargai, menghormati dan tidak merendahkan usaha seorang anak akan menjadikan anak tersebut merasa dirinya “Bisa”, dengan begitu kepercayaan dirinya tumbuh.
3. Pendidikan
Institusi pendidikan yang mengambil sebagian besar waktu pertumbuhan seseorang juga sangat mempengaruhi sikap percaya diri. Siswa yang sering diperlakukan buruk (dihukum atau ditegur di depan umum) cenderung sulit mengembangkan percaya dirinya. Sebaliknya, yang sering dipuji, dihargai, diberi hadiah (apalagi di depan umum) akan lebih mudah mengembangkan konsep diri yang positif, sehingga lebih percaya diri.

Faktor Internal.
Faktor internal yaitu faktor yang bersumber dari dirinya sendiri, namun rasa kurang percaya diri yang diakibatkan dari diri sendiri sangat jarang. Karena secara umum orang yang memiliki pemahaman “Kurang” terhadap dirinya itu dipengaruhi dari persepsi orang lain yang kemudian diyakininya secara dinalsebagai konsep diri negatif.
PD erat kaitannya dengan konsep diri, cara pandang seseorang terhadap dirinya; baik dari sisi apa yang dipahami oleh dirinya sendiri, dari sisi apa yang dipahami oleh orang lain terhadap dirinya. Dan dari sisi nilai-nilai idealitas yang dituntut masyarakat secara umum terhadap dirinya. Yang penting adalah bagaimana seseorang memiliki konsep diri yang jelas. Dengan konsep diri yang jelas, seseorang akan mempercayai dirinya sendiri, mampu menilai posisi dan kualitas dirinya, serta dapat menempatkan diri dengan baik. Pada dasarnya hampir semua orang pernah merasakan minder atau tidak PD, hanya saja ada yang dengan cepat mampu meyakinkan dirinya ada yang butuh waktu lama atau bahkan sangat lama sekali untuk bangkit…

Membangun Rasa Percaya Diri (PD)
Sebenarnya yang paling mampu membangkitkan rasa percaya diri itu adalah “Diri Sendiri”, karena bagaimanapun diri Anda sendirilah yang memutuskan apakah anda akan merasa yakin atau tidak…! Motivasai ataupun nasehat yang diberikan oleh orang lain terkadang hanya berlaku sementara bagi diri anda, karena memang itulah sifat manusia. Ketika anda mendapat nasihat mungkin saat itu anda merasa “Mampu” dan menjadi PD’, namun selang waktu berjalan tidak jarang anda akan kehilangan lagi rasa percaya diri tersebut. Mengapa bisa seperti itu….? Jawabannya simple “Karena kepercayaan diri anda belum merasuk dalam jiwa anda, kepercayaan diri anda baru sebatas “Konsep Diri” menurut orang lain yang bisa saja anda yakini pada waktu itu dan bisa dengan mudah anda ingkari ketika pada perjalanan kedepan ada kenyataan lain.
Ingat “Hanya anda sendiri yang mampu merubah diri anda, bukan orang lain”. Berhentilah bermimpi besok anda akan bertemu dengan seseorang yang mampu menjadikan anda percaya diri, atau membayangkan aka ada makhluk asing yang mampu merubah bentuk badan anda sehingga anda dengan serta merta menjadi PD. Semua perubahan itu berawal dari diri sendiri, mulai sekarang biasakan berfikir positif, ikuti saran yang positif dan tolak saran yang negative, dan yang paling penting “jangan takut mengambil resiko” yakinkan diri anda kalau orang lain bisa mengapa anda tidak.



Refrence
Jannah, Izzatul, Everiday is PE DE Day, (Surakarta: Eureka, tt.), hal. 28-29.
Vieny, Dina, Rani, Membangun dan Mengasah PD, bahasan utama majalah UMMI Majalah Wanita. No4/XIV Agustus-September 2002/1423 H.hal11

Rabu, 15 Desember 2010

Penciptaan Perempuan dari Tulang Rusuk, (Antara Implikasi dan Problem Pemaknaan)

Dalam panggung sejarah kemanusaan didunia ini, proses dehumanisasi terhadap perempuan sering sekali ikut tertoreh didalamnya. Bukan hanya pada masa lampau, bahkan hingga sekarang kondisi tersebut masih dapat kita saksikan. 

Sebagai contoh, di Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah muslim kaum perempuan masih seringkali diletakkan sebagai second class. Hal itu terbukti dari apresiasi terhadap kaum perempuan yang belum sepenuhnya tercermin dalam pola prilaku masyarakat terhadap kaum hawa ini.

Fenomena diatas menjadi menarik untuk diperhatikan. Mengapa bisa muncul istilah second class terhadap kaum perempuan di negri yang nota benenya “Mayoritas Islam”?.

Padahal kita dapat lihat bagaimana letak perempuan dan laki-laki dalam tataran normatif-idealis islam yang sangat dipandang sejajar. Atau mungkinkah adanya istilah second class terhadap kaum perempuan itu justru muncul karena pemahaman terhadap sumber ajaran suci sendiri…?

Pandangan dunia dan ideologi manusia berkaitan erat dengan pandangan dunia dan ideologi yang disodorkan oleh agama yang dipeluknya. Dalam berbagai hakikat wujud dan substansi yang dimilikinya, pemeluk suatu agama mempunyai perspektif terhadap agama berupa serapan pikiran atas apa yang dibaca atau didengarnya. 

Ketika proses penerimaan kebenaran terhadap konsep agama tidak dibarengi dengan koreksi dan kritik maka kemungkinan kesalahan memperspektifkan berbagai subtansi wujud akan semakin melebar. Menarik untuk coba kita telusuri beberapa keterangan dalam agama Islam khususnya tentang perempuan.

Misalnya, “Hadis tentang penciptaan perempuan dari tulang rusuk laki-laki” merupakan salah satu dasar teologis yang seringkali dituding memiliki sumbangsi besar dalam memarjinalkan kaum perempuan. Penciptaan perempuan yang penulis maksudkan disini tentu saja bukan penciptaan yang selanjutnya, karena penciptaan selanjutnya dalam pandangan penulis itu sudah cukup jelas.

Hadis tersebut intinya berbicara seperti ini; ”Sesungguhnya wanita itu diciptakan dari tulang rusuk, dan yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah bagian paling atas. Oleh karenanya jika kamu paksa untuk meluruskannya, dia akan patah, dan sebaliknya jika kamu biarkan dia akan bengkok” .

Umumnya, para ulama abad klasik menafsirkan hadis ini sebagaimana makna yang tertulis secara leterlek dalam hadis tersebut. Efek dari pemahaman yang seperti itu menjurus pada opini yang pada mulanya menyatakan bahwa Hawa itu diciptakan oleh tuhan dari tulang rusuknya Adam, dikemudian hari pemaknaan itu berkembang sehingga wanita yang hanya bagian dari tulang rusuk laki-laki dianggap lebih rendah kedudukannya.

Hadis lain yang senada dengan makna hadis diatas adalah: “Saling pesan-memesanlah untuk berbuat baik kepada perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok”. (H.R at-Tirmidzi dari Abu Hurairah ).

Sama seperti hadis senada diatasnya, Hadis di atas juga dipahami oleh sebagian ulama-ulama terdahulu secara harfiah, dan ujung dari pemaknaan seperti itu ialah diskriminasi gender. Namun beberapa ulama kontemporer memahaminya secara metafora, bahkan ada yang menolak keshahihan hadis tersebut. 

Golongan feminism yang memahami secara metafora berpendapat bahwa hadis di atas memperingatkan para laki-laki agar menghadapai perempuan dengan bijaksana, karena ada sifat, karakter dan kecenderungan mereka yang tidak sama dengan laki-laki. 

Bila tidak disadari akan mengantarkan kaum laki-laki bersikap tidak wajar, mereka juga tidak akan mampu mengubah karakter dan sifat bawaan perempuan, kalau pun mereka berusaha akibatnya akan fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan tulang rusuk yang bengkok.

Alamah Thabathaba’i (ra) dalam tafsirnya al-Mizan menulis, bahwa ayat di atas menegaskan bahwa: “Perempuan (istri Adam) diciptakan dari jenis yang sama dengan Adam, dan ayat tersebut sedikitpun tidak mendukung paham sementara mufasir yang beranggapan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam. Kita dapat berkata, bahwa tidak ada satu petunjuk yang pasti dari ayat al-Qur’an yang dapat mengantarkan kita untuk mengatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk, atau bahwa unsur penciptaannya berbeda dengan laki-laki”. 

Dalam sebuah pelatihan ulama perempuan, KH. Husein Muhammad mengungkapkan kritik terhadap teks-teks hadis Kitab Syarh 'Uqud al-Lujjayn Syekh Nawawi Banten (1230-1314H/1813-1897M). Ummi Dzikriyati, seorang muballigah muda, peserta dari Meulaboh Nanggroe Aceh Darussalam merasa sakit ketika mendengar ada teks-teks hadis yang tidak ramah perempuan dan menyatakan ketidak-setujuannya atas pengungkapan hadis-hadis tersebut. 

Menurutnya, teks-teks hadis seperti ini tidak perlu lagi disebarkan ke masyarakat, tidak perlu dibahas, atau diungkapkan. Ia menyarankan untuk langsung memperkuat masyarakat, termasuk para ulama, da'i dan muballighah dengan teks-teks hadis yang mendudukkan perempuan secara setara dengan laki-laki, memberdayakan dan memuliakan. “Ini lebih membangkitkan semangat kami”, Ummi mengakhiri komentarnya terhadap presentasi KH Husein Muhammad .

Aisyah bint Abi Bakr ra., isteri tercinta Nabi Muhamnmad saw, dalam merespon hadis yang merendahkan perempuan, beliau pernah menggunakan metode kritik antar teks. Sekalipun bisa jadi hadis tersebut secara “riwayat sanad” adalah Valid atau Sahih. Namun jika bertentangan dengan teks lain yang kedudukannya lebih tingggi “semisal al-Qur’an, tentusaja keshahihan Suatu hadis jadi dipertanyakan ulang.

Ada suatu contoh menarik dari Hadis yang diriwayatkan oleh Abi Hurairah ra. Yang intinya mengatakan bahwa perempuan itu salah satu sumber kesialan, perempuan itu bisa membatalkan shalat seseorang jika lewat di hadapannya, perempuan yang baik akan masuk neraka hanya karena tidak memberi makan kucing peliharaannya. Contoh lagi hadis Ibn Umar ra. mengenai keharusan perempuan ketika mandi janabah untuk mengurai seluruh rambutnya yang dikepang, dan lain-lain. Teks-teks hadis ini ditolak Aisyah, dengan menghadirkan ayat-ayat Alquran dan teks-teks hadis lain yang disaksikannya sendiri.

Dalam perkembangannnya kedepan (baca: Saat ini) Metode seperti ini juga yang dipakai oleh Riffat Hasan, seorang intelektulal muslim feminis dari Pakistan, dalam menolak beberapa teks hadis yang misoginis. Salah satu sasaran teks tersebut adalah teks Hadis mengenai penciptaan perempuan dari tulang rusuk yang bengkok. Penolakan ini didasarkan pada pernyataan Alquran yang lebih tegas, bahwa penciptaan manusia itu dari entitas yang satu (nafs wahidah), baik laki-laki maupun perempuan (QS. An-Nisa, 4: 1).

Di samping karena teks-teks hadis yang terkait isu itu, berbeda satu dari yang lain secara tajam. Riffat Hasan memastikan bahwa hadis-hadis penciptaan perempuan dari tulang rusuk laki-laki, pasti dipengaruhi riwayat dari orang-orang Yahudi. Atau apa yang disebut sebagai israiliyyat. Ide ini, seperti ditulis Rasyid Ridha dalam tafsir al-Manarnya, timbul dari apa yang termaktub dalam Perjanjian Lama (Kejadian II: 21-22) yang mengatakan bahwa ketika Adam tidur lelap, maka diambil oleh Allah sebilah tulang rusuknya, lalu ditutupkan pula tempat itu dengan daging. Maka dari tulang yang telah dikeluarkan dari Adam itu, dibuat oleh Tuhan seorang perempuan.

Apa yang ditulis oleh Rasyid Ridha diatas hanyalah sebagian dari kemungkinan bukti masuknya Israiliat dalam kajian ke-Islaman. Disisi lain masih banyak studi komparasi teks model ini seperti apa yang coba di komparasikan oleh Faqihuddin Abdul Kodir. Dalam tulisannya ia mencoba memaparkan teks-teks ke-Islaman dengan teks-teks dari sumber lain. Sebagai sampel, penulis cantumkan dibawah ini secara singkat saja:

1. Dari Abi Hazim dari Abu Hurairah, berkata Rasulullah saw., “Aku wasiatkan kalian untuk berbuat-baik terhadap perempuan karena sesungguhnya perempuan diciptakan dari tulang rusuk dan sesungguhnya tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian atasnya. Jika engkau meluruskannya, engkau akan mematahkannya; dan jika engkau meninggalkannya, dia akan tetap bengkok. Oleh karena itu, berwasiat baiklah pada perempuan”.(Riwayat: Bukhari).

2. Dari A'raj dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah saw. berkata, “Perempuan itu bagaikan tulang rusuk, jika engkau mencoba meluruskannnya, engkau akan mematahkannya. Jadi, jika engkau ingin mendapatkan keuntungan darinya, ambillah kenikmatan padanya dan kebengkokan tetap padanya”.(Riwayat: Bukhari).

3. Dari Abi Hazim dari Abu Hurairah, Nabi saw. berkata, “Barang siapa yang percaya kepada Allah swt. dan hari kiamat, jangan menyakiti tetangganya dan berbuat baiklah kepada perempuan. Sesungguhnya, mereka diciptakan dari tulang rusuk, sesuatu bagian tulang yang paling bengkok. Jika engkau ingin meluruskannya, ia akan retak, dan jika engkau membiarkannya, ia tetap bengkok, oleh sebab itu, berwasiat baiklah kepada perempuan”.(Riwayat: Bukhari).

4. Dari Ibn Musayyab dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. Bersabda, “Perempuan itu bagaikan tulang rusuk, jika engkau berusaha meluruskannya, engkau mematahkannya dan apabila engkau membiarkannya, engkau akan memperoleh keuntungan (kesenangan) darinya, dan dalam dirinya tetap masih ada kebengkokan”.(Riwayat: Muslim).

5. Dari A'raj dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. Bersabda, “Sesungguhnya perempuan itu telah diciptakan dari tulang rusuk dan engkau tidak akan bisa meluruskannya pada satu jalan. Jika engkau ingin mengambil keuntungan darinya, ambillah keuntungan padanya dan padanya masih tetap ada kebengkokan. Dan jika engkau berusaha untuk meluruskannya, engkau akan memecahkannya (meretakkannya), dan meretakkannya berarti menceraikannya”. (Riwayat: Muslim).

6. Dari Abi Hazim dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. Bersabda, “Orang yang percaya kepada Allah dan hari akhir, jika orang itu menyaksikan beberapa persoalan, orang tersebut harus mengatakannya dengan istilah yang baik atau hati-hatilah. Berwasiatlah dengan baik terhadap perempuan sebab perempuan diciptakan dari tulang rusuk, dan bagian yang paling bengkok adalah bagian yang paling atas. Jika engkau berusaha meluruskannya, engkau akan meretakkannya, dan jika engkau membiarkannya, kebengkokannya akan tetap. Oleh karena itu, berwasiat baiklah terhadap perempuan”.(Riwayat Muslim).

Pendekatan inter-tekstualitas ini, biasanya juga diperkuat dengan pendekatan sejarah dengan melihat latar belakang perawi para sahabat, dan latar kehidupan sosial politik dan peradaban pada masa perkembangan teks-teks hadis tersebut. Dengan studi antar teks, ide penciptaan perempuan dari tulang rusuk sebenarnya bisa ditolak. Pertama, karena satu teks dengan teks yang lain bertentangan. Kedua, karena tidak sejalan dengan pernyataan Alquran (QS, 4: 1)


Ketiga karena ide tersebut hanya cocok dengan pernyataan dalam Kitab Kejadian dari al-Kitab. Yaitu teks berikut: “Lalu Tuhan Allah membuat manusia tidur nyenyak; ketika tidur Tuhan Allah mengambil tulang rusuknya, lalu menutup tempat itu dengan daging. Dan dari rusuk yang diambil Tuhan Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia”. (Kitab Kejadian, pasal 21-22).

Artinya, ide penciptaan perempuan dari tulang rusuk kemungkinan besar adalah bukan ide dari sumber-sumber Islam, tetapi dari sumber sebelumnya (israiliyyat), yang mungkin mempengaruhi para periwayat hadis. Karena itu, ide penciptaan dari tulang rusuk sebagaimana disebut dalam sebagian teks hadis, adalah tidak valid. Dengan demikian, teks Hadispun dianggap tidak Valid, atau tidak Sahih secara matan Hadis, bukan secara sanad.

Lebih lanjut Nurjannah Ismail, seorang ulama perempuan dari Aceh ini menyatakan: “Pesan utama dari hadis itu, agar para suami memperlakukan istrinya dengan baik, memperbaiki kekeliruan atau kesalahan istri dengan lembut dan bijaksana, dan jangan pula dibiarkan saja istri bersalah”. 

Nabi memanfaatkan penciptaan perempuan dari tulang rusuk yang bengkok untuk menjelaskan bahwa betapa laki-laki harus hati-hati dan bijaksana meluruskan kesalahan-kesalahan perempuan. Karena meluruskan kesalahan perempuan ibarat meluruskan tulang yang bengkok, kalau tidak hati-hati bisa menyebabkan tulang itu patah. 

Pada kesempatan lain, Nabi juga mengingatkan para suami untuk tidak berprilaku negatif terhadap istri, seperti menampar muka istri, menjelek-jelekkan istri, mengucilkan istri dari pergaulan di luar rumah, menceritakan rahasia istri kepada orang lain, kikir dalam memberi nafkah, dan lain-lain.

Menurutnya, jika pemaknaan Hadisnya seperti ini, maka tentu itu tidak bertentangan dengan ayat an-Nisa (4: 1) dan justru sejalan dengan perintah-perintah Islam yang lain. Baik yang ada pada Alquran, maupun pada teks-teks hadis. Seperti ayat wa 'asyiruhunna bil-ma'ruf (dan berbuat baiklah kamu kepada perempuan/istri), QS, an-Nisa, 4: 19 dan ayat ath-Thalaq, 65: 6, yaitu wa'tamiru bainakum bil-ma'ruf (dan musyawarahkanlah di antara kalian suami istri tentang segala sesuatu dengan cara baik). 

Salah satu teks hadis yang sejalan dengan pemaknaan di atas adalah teks hadis Imam at-Turmudzi: “akmalul mu'minina imanan ahsanuhum khuluqan, wa khiyarukum, khiyarukum li-nisa'ihim/ sebaik-baik orang-orang mukmin adalah mereka yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kamu adalah mereka yang berbuat baik pada istrinya”.

Memang menarik untuk diperhatikan “Dari tulang rusuk”, Kata min (dari) dalam bahasa Arab kadangkala bermakna sebagian dari sesuatu dan kadangkala bermakna penjelasan, artinya dari jenis sesuatu. Karena itu, karena Rasul saw. tidak membatasi persoalan tersebut dengan tegas, maka hadis ini menjadi mengandung sejumlah makna dan pengertian, tergantung bagaimana kita menafsirkannya. Munculnya diskriminasi dalam penafsiran mungkin (sebagaimana yang banyak digemborkan oleh kaum feminism) itu karena sangat sedikitnya kaum perempuan yang menjadi ahli tentang kitab suci (Mufasir). 

Sebagai penutup sekaligus renungan pemaknaan terhadap suatu teks, penulis coba mencantumkan beberapa tawaran pemaknaan terhadap kasus penciptaan perempuan dari tulang rusuk yang mungkin ini sudah sering kita dengar. Sebuah puisi menarik (yang entah karangan siapa) bunyinya seperti ini:

HAKIKAT: AWAL PENCIPTAAN WANITA

Wanita Diciptakan
Tidak Dari Kepala Pria
Karena Bukan Untuk Menjadi Atasan-Nya
Tidak Pula Dari Kaki Pria
Karena Bukan Untuk Menjadi Bawahan-Nya
Melainkan Dari Rusuk Pria
Dekat Dengan Tangan-Nya Untuk Dilindungi-Nya
Dekat Dengan Hati-Nya Untuk Dicintai Dan Disayangi-Nya
Berada Di Sisi-Nya Untuk Saling Mengisi
Berada Di Samping-Nya Untuk Saling Memberi
Berada Di Sebelah-Nya Untuk Saling Menghargai Dan Menghormati

Ada sebuah pendapat menarik (dari beberapa hasil clotehan penulis dengan kawan-kawan) bahwa bila dilihat dari persepsi terciptanya isteri dari tulang rusuk suami, maka tidak ada kemungkinan seorang laki-laki beristeri lebih dari satu. Tapi nyatanya Allah swt. telah memberi peluang bagi orang laki-laki untuk memiliki isteri lebih dari satu dengan catatan tidak boleh lebih dari empat orang wanita. Dari sinilah timbul pertanyaan, benarkah isteri terbentuk dari tulang rusuk laki-laki? Berapa tulang rusuk yang harus diambil dari orang laki-laki bila mempunyai empat orang isteri?


Wallahua’lam………..

DAFTAR PUSTAKA
Mernissi, Fatima. Pemikiran Islam kontempoler: Menggugat keadilan gender. Jendela, Yogyakarta 2003.
Ismail, Nurjannah. Perempuan dalam Pasungan
http//rahima.or.id.
Thabataba’i, Muhammad Husein, Tafsir al-Mizan
Baidan, Nashruddin. Tafsir bi al-Ra’yi; upaya penggalian konsep wanita dalam al-Qur’an. Pustaka pelajar 1999
Katsir, Ibnu. Tafsir, Bairut, Dar al-Fikr, 1992
Mustaqim, Abdul. Paradigma Tafsir Feminis. Logung Pustaka, Yogyakarta

Selasa, 14 Desember 2010

Relasi Agama & Negara; Sebuah Muqadimah

Agama & Negara merupakan institusi yang sangat penting bagi masyarakat. Para sosiologi teoetisi politik Islam merumuskan beberapa teori tentang hubungan Agama dan Negara. Teori tersebut secara garis besar dibedakan menjadi tiga paradigma pemikiran:
1. Paradigma Intergralistik; Dalam paradigma intergralistik, agama dan negara menyatu (intergreted).
2. Paradigma Simbiotik; Agama dan negara, menurut paradigma ini, berhubungan secara simbiotik / hubungan yang bersifat timbal balik dan saling menguntungkan (Simbiotik mutualisme).
3. Paradigma Sekularistik; Pandangan atau faham ini sangat menganjurkan pemisahan (disparitas) agama atas negara dan pemisahan negara atas agama.

Dari ketiga Paradigma diatas Indonesia secara umum masuk pada paradigma kedua (Paradigma Simbiotik)dimana peran Agama & Negara Tidak menyatu (Indosesia bukan Negara Islam meski mayoritas masyarakatnya Islam) dan tidak terpisah. Negara Indosesia menjamin kebebasan beragama serta melindungi para penganut agama sebagaimana disebutkan dalam UUD 1945 bahwa "tiap-tiap penduduk diberikan kebebasan untuk memilih dan mempraktikkan kepercayaannya" dan "menjamin semuanya akan kebebasan untuk menyembah, menurut agama atau kepercayaannya".

Tidak dapat disangkal bahwa kedudukan Agama dalam suatu masyarakat pasti dimaknai sebagai sumber etika moral dan mempunyai kedudukan yang sangat vital. Agama memiliki kaitan yang sangat erat dengan perilaku seseorang dalam interaksi sosial kehidupannya. Agama apapun pada dasarnya mengajarkan kebaikan, namun dalam beberapa lokus masyarakat, Agama juga hampir selalu dijadikan sebagai alat ukur atau pembenaran (Justifikasi) dalam setiap langkah kehidupan. Pembenaran atas nama Agama itu terjadi dalam interaksi terhadap sesama maupun kepada sumber Agama tersebut “Hubungan dengan sesama Manusia dan hubungan dengan Tuhannya”. Akibatnya dalam ranah horisontal (Hubungan sesama manusia) konflik antar agama sering kali tidak terelakkan.

Gesekan-gesekan tersebut (Konflik antag agama) pada dasarnya dapat diredam jika masyarakat yg beragama mau memahami pentingnya kebersamaan dan kerukunan hidup antar Agama demi kemajuan bersama. Pada tataran inilah seharusnya Negara mengambil peran, bagaimana usaha negara memunculkan kecintaan tanah air dan kebersamaan sehingga semboyan bhineka tunggal ika bisa terwujud. Bukan hanya pada wilayah "Sosialisasi kerukunan antar umat beragama", Negara dengan haknya hendaknya juga mampu menciptakan system yang mengatur wacana tersebut sehingga mampu mengakomodir semua Agama yang ada di dalam Negri ini & kerukunan antar umat beragama tidak hanya mencadi wacana & omong kosong belaka.

Hal ini menjadi penting karena perbedaan yang radikal dari system sebuah Negara dengan kepercayaan Masyarakat secara umum terlalu sering menimbulkan benturan-benturan antara Agama dan Negara. Untuk kasus Indonesia sendiri dalam kacah sejarah (Prespktf Islam - Indonesia) sebenarnya telah memberi contoh dengan melakukan usaha-usaha yang tak ringan. Bukan hanya dimolai sejak perebutan dasar Negara yang berakhir dengan dihapusnya tujuh kata piagam Jakarta, namun jauh sejak sebelum “RI” perjuangan mempertahankan nilai-nilai islam ataupun simbolisasi Islam yang tujuannya agar islam itu tetap axsis itu telah ada. Hal itu terus menggelinding dan belum sampai titik final, Dialektika hukum Islam dengan kekuasaan politik Negara Pancasila ini pun tak pelak lagi terjadi secara terus menerus. Pada wilayah inilah politik hukum suatu negara memegang peranan penting bahkan kadang menghegemoni dalam menentukan pelaksanaan sebuah hukum.

Meminjam istilah Bahtiar Effendy “Islam Multi Interpretatif”. Watak interpretatif ini kalau kita amati memang benar dan telah berperan sebagai dasar dari kelenturan Islam dalan sejarah. Selebihnya, hal itu juga mengisyaratkan keharusan pluralisme dalam tradisi Islam. Karena sebagaimana telah dikatakan oleh banyak pihak, Islam tidak bisa dan tidak seharusnya dilihat secara monolitik. Ini berarti bahwa Islam yang empirik dan aktual akan berarti lain bagi orang Islam lainnya. Dan sejajar dengan itu, ia akan dipahami dan digunakan secara berbeda. Jika perspektif ini diletakkan dalam konteks kehidupan politik Islam kontemporer, maka upaya untuk mendirikan negara Islam bisa dipahami secara berbeda oleh kalangan Islam yang lainnya. Apakah Islam sebagai symbol dalam suatu Negara ataukah Islam sebagai sebuah tatanan nilai dalam suatu Negara…? “sebuah perdebatan klasik yang tak ujung usai”.

Senin, 03 Mei 2010

Sosiologi Agama ; Manusia dan hubungannya dengan masyarakat

(Makalah ini dibuat & pernah didiskusikan oleh: Kukuh Budiman, dalam kelas "Sosiologi Agama" Jurusan Tafsir Hadis Fak.Ushuluddin UIN SuKa 2009)

Pengantar.

Pada dasarnya setiap Agama membawa misi sebagai pembawa kedamaian dan keselarasan hidup. Baik itu Agama Islam sendiri dan Agama lainnya. Namun, dalam kenyataannya tidak jarang Agama bukannya menjadi pemersatu sosial tapi malah sebaliknya sebagai unsur konflik.

Hal ini disebabkan dengan adanya truth klaim pada tiap-tiap pemeluknya. Berbicara dalam konteks ke-Islaman, “Misal” kita mengenal;
     
Artinya:
"Tidaklah Kami turunkan engkau (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta" .

Ayat tersebut menjelaskan maksud Allah SWT menurunkan rasulNya, Muhammad SAW, yaitu untuk menjadi rahmat bagi alam semesta. Alam semesta dapat didefinisikan sebagai jagat raya yang didalamya termasuk manusia, tumbuhan, hewan, makhluk hidup lainnya, serta makhluk tidak hidup. Rahmat pada umumnya mengandung pengertian kasih sayang, keadilan, dan kesejahteraan.

Dengan demikian tujuan Islam adalah identik dengan tujuan pembawanya, Muhammad SAW, yaitu membawa ajaran kasih sayang, keadilan, dan kesejahteraan bagi alam semesta. Rahmatan lil alamin bukanlah sekedar motto Islam, tapi merupakan tujuan dari Islam itu sendiri. Sesuai dengan tujuan tersebut, maka sudah sewajarnya apabila Islam menjadi pelopor bagi kehidupan sosial.

Bagaimanapun baik serta agungnya sebuah teks suci (al-Qur’an), ia akan tetap tidak bermakna tanpa intervensi pikiran dan kesadaran manusia. Artinya; Intepretasi dan kesadaran manusia untuk merealisasikan pemahamnnya akan teks dalam kehidupan kongkrit itulah sesungguhnya yang membuat sebuah teks hidup, agung dan bermakna.

Kemudian keterlibatannya orang yang memahami al-Qur’an sebagai sumber pokok ajaran Islam itu di dalam hubungan-hubungan sosial, sedikit banyak akan mempengaruhi kondisi sosiologis masyarakatnya. Hingga ujungnya akan sampai pada proyek yang paling tinggi (Baca: Tingkat Aktualisasi) yaitu membentuk kebudayaan masyarakatnya dan kesadaran akan identitasnya sebagai manusia, Hamba sekaligus Kholifatul fil ard sebagaimana yang di idealkan oleh Islam sebagai agama Rahmatan Lil Alamin.......

Dalam makalah yang singkat ini tidak akan, atau lebih tepatnya tidak mungkin, jika harus mengupas habis studi tentang pengaruh agama terhadap masyarakat / perubahan masyarakat sebagaimana yang diidealkan oleh sudut pandang Sosiologi Agama namun hanya sebagian saja. Manusia adalah unsur pokok dari masyarakat, kiranya akan menarik jika saat ini (sebagai awal dari perkuliahan sosiologi agama) kita berbicara tentang “Manusia itu sendiri”. Bagaimana al-Quran (Sebagai dasar ajaran Islam) memandang kedudukan Manusia dalam masyarakat.

Pembahasan.

Perubahan sosial yang sangat cepat di masyarakat sangat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh ilmu dan teknologi serta pertumbuhan berbagai sistem kepercayaan dan pandangan hidup. Sekalipun perubahan merupakan hal yang pasti karena sebagai mana sebuah pernyataan filosofis yang penulis pikir teman-teman sudah mafhum bahwa di dunia ini tidak ada yang berubah selain perubahan itu sendiri. Perubahan itu selalu saja meniscayakan adanya sebuah bentuk ideal yang menjadi acuan bagi masyarakat untuk mengejar dan mencapai bentuk ideal itu.

Tidak dapat dipungkiri bahwa para pakar sosiologi (sosiolog) senantiasa melaihat kondisi sosial berdasarkan sudut pandang yang berbeda sesuai dengan latar belakang akademik dan pengalaman hidupnya. Namun sebagai akademisi muslim (UIN Tafsir-Hadis lagi), kita mempecayai bahwa al-Qur’an juga telah menggariskan satu bentuk ideal masyarakat sebagai acuan umat Islam dalam kehidupan sosial. Oleh karenanya pembahasan tentang Manusia dan Masyarakat sudah selayaknya kita refleksikan dengan ma qalla al-Qur’an.

1. Gambaran singkat masyarakat Arab yang penuh ketimpangan sosial.
Sebagaimana termaktub dalam surat Al-Anbiya:107 diatas serta beberapa ayat-ayat dalam al-Qur’an, tidak berlebihan kiranya jika dikatakan salah satu tujuan al-Qur’an adalah menegakkan tata masyarakat yang adil. Celaan-celaan al-Qur’an terhadap ketimpangan sosial dan ekonomi yang menjadi pola hidup masyarakat Arab jahiliah adalah salah satu hal nyata dari bentuk perlawanan al-Qur’an.

Masyarakat Arab pra-Islam atau yang sering kita bahasakan “jahiliah”, adalah masyarakat yang terbiasa hidup di tengah gurun pasir, bagi mereka gurun pasir bukan sekedar tempat tinggal mereka. Lebih dari itu gurun pasir dengan segala kekejamannya merupakan penjaga tradisi sakral mereka serta benteng pertama dan utama dari serangan luar. Sumber air yang susah didapat, Panas yang terik menyengat, jejak yang mudah terhapus & kurangnya persediaan makanan menjadikan pola hidup mereka susah terkontraminasi dengan peradaban moderen.

Keyakinan yang begitu kuat akan tradisi leluhur serta kebutuhan hidup yang sangat mendesak ditengan keterisolirannya, menjadikan bangsa Arab terbiasa dengan istilah penipuan, pengumpatan, penimbunan harta serta penindasan.

Ke-khawatiran akan pengurangan harta dan kerugian yang besar menjadikan mereka tega membunuh keturunan yang dianggap tidak berguna (Wanita) yang bagi mereka itu adalah Aib. Serta bagi orang yang tidak mampu secara financial akan melakukan segala cara untuk mempertahankan hidup, tak terkecuali menjual diri dll. Kebutuhan akan perlindungan membuat mereka mau melakukan apapun demi kelompoknya, termasuk perang dan perbuatan-perbuatan lainnya yang tak kalah biadab.

Al-Qur’an terus-menerus mengecam ketimpangan-ketimpangan tersebut, ketimpangan ekonomi yang nota benenya adalah akar dari ketimpangan sosial misal, sangat jelas disebutkan dalam firmannya:
               
Artinya:
Bermegah-megahan Telah melalaikan kamu, Sampai kamu masuk ke dalam kubur, Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), Dan janganlah begitu, kelak kamu akan Mengetahui. (102: 1-4)

           •      •                 
Artinya:
Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela, Yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung, Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengkekalkannya, Sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah, Dan tahukah kamu apa Huthamah itu?, (yaitu) api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan, Yang (membakar) sampai ke hati. (104:1-7)

2. Pandangan Singkat Tentang Hakekat Manusia.
Manusia merupakan makhluk yang tertinggi dia adalah wakil Tuhan di bumi (Kholifatul fil ard). Fitrah manusia membuatnya berkeinginan suci dan secara kodrati cenderung kepada kebenaran (hanief) sebagaimana disebutkan dalam surat al-Rum: 30. Fitrah merupakan bentuk keseluruhan tentang diri manusia yang secara asasi dan prinsipil membedakannya dari makhluk-makhluk yang lain. Dengan memenuhi hati nurani, seseorang berada dalam fitrahnya dan menjadi manusia sejati .

Karena secara fitrahnya manusia cenderung kepada kebenaran, kebaikan dan keindahan, maka manusia secara dasar/ asasi disebut sebagai mahluk yang mempunyai cita-cita dan cenderung kepada sesuatu yang ideal (mahluk ideal).

Dalam arti tidak mau menerima “apa adanya” dan tetap selalu berusaha mewujudkan “apa yang semestinya atau apa yang seharusnya”. Hanya manusia yang dapat membentuk lingkungannya. Dengan kesadaran atau pikirannya, ia selalu menginginkan sesuatu yang lebik baik, begitulah seterusnya. Apabila manusia tidak mempunyai nilai kemanusiaan ini, maka dapat dipastikan, manusia saat ini akan tetap dalam keadaan yang sama seperti ratusan tahun yang lalu, tidak maju-maju dan tidak bisa mampu menciptkan sebuah peradaban.

Selanjutnya, masih menurut Ali Syari’ati, bahwa selain sebagai mahluk ideal, masih ada beberapa nilai dasar manusia lainnya yang disepakati bersama. Manusia adalah mahluk yang memiliki kehendak bebas. Kebebasan memilih adalah sifat Ilahiah yang ada dalam diri manusia.

Manusia adalah mahluk yang sadar (berpikir). Ini merupakan karakteristik menonjolnya. Manusia adalah mahluk yang sadar akan eksistensinya. Manusia adalah mahluk yang kreatif. Manusia adalah mahluk yang bermoral. Kehidupan manusia dinyatakan dalam amal perbuatannya (al-Taubah: 105 dan al-Najm:39)

3. Pandangan Awal Manusia Sebagai Manusia yang Seutuhnya.
Menarik sekali jika kita melakukan kajian filologis terhadap terminologi yang digunakan al-Qur’an. Semisal untuk mengatakan “Manusia” dalam al-Qur’an setidaknya ada tiga kata kunci (key terms) yaitu Basyar – Insan dan an-Nas yang mengacu pada makna pokok (Basic meaning) dan makna nasabi (relation meaning) .

Selain itu ada konsep lain yang dipergunakan, namun dalam porsi yang lebih kecil dan secara maknawi masih bisa dilacak dari tika Key Terms diatas. Semisal istilah Unas yang disebutkan sebanyak lima kali dalam al-Qur’an merujuk pada (bermakna) kelompok atau golongan manusia. Kata an-nasi yang merupakan wujud jama’ dari Insan disebut satu kali dalam al-Qur’an yang bermakna kumpulan manusia yang banyak. Satu lagi adalah kata Ins tercantum sebanyak 18 kali dalam al-Qur’an dan selalu digabungkan dengan kata Jin sebagai pasangan makhluk tuhan yang Mukallaf.

Manusia hidup di tengah alam dan sebagai makhluk sosial hidup di tengah sesama (Masyarakat). Dari segi ini manusia adalah bagian dari masyarakat dan keseluruhan alam yang merupakan suatu kesatuan. Tujuan hidup manusia adalah menuju kepada insan yang diciptakan sebaik-baiknya dan khaira ummah (umat yang terbaik), yang beriman kepada Allah swt, selalu menyuruh dan melaksanakan yang baik serta mencegah perbuatan yang keji lagi mungkar. Karena, manusia diciptakan wujudnya terlebih dahulu, baru kemudian ia membentuk hakikat dirinya.

Untuk mewujudkan manusia yang ideal dan masyarakat ideal, maka manusia harus selalu berbuat sesuatu yang baik dan berguna, baik untuk dirinya sendiri, masyarakat maupun yang berkenaan dengan alam. Manusia yang hidup berarti dan berharga adalah dia yang merasakan kenikmatan dan kebahagiaan dalam kegiatan-kegiatan yang membawa perubahan kearah kemajuan yang baik, baik mengenai alam maupun masyarakatnya, yaitu hidup berjuang dalam arti seluas-luasnya. Ia diliputi oleh semangat mencari kebenaran, kebajikan dan keindahan. Akan tetapi, nilai-nilai ini belum dikatakan hidup dan berarti sebelum menjelma dalam amaliah yang nyata dan konkrit.

Dengan begitu; Manusia sebagai khalifah Allah dituntut untuk mampu menciptakan piranti kehidupannya, yaitu kebutuhan rohani (ilmu, seni, budaya, sastra), kebutuhan jasmani atau fisik (sandang, pangan, perumahan, peralatan teknologi), dan kebutuhan sosial (sarana ibadah, sarana pendidikan, sarana pembangunan, angkutan umum dll).

Maka dengan karunia Allah, berupa akal budi, cipta, rasa, dan karsa manusia mampu menciptakan kebudayaan. Manusia dengan akal budinya mampu mengubah nature menjadi kultur, mampu mengubah alam menjadi kebudayaan. Manusia tidak hanya semata-mata terbenam di tengah-tengah alam, justru manusia mampu mengutik-utik alam dan mengubahnya menurut kemauannya sehingga tercipta apa yang dinamakan kebudayaan.

Seperti dikatakan C.A. Van Peursen, “Manusia berlainan dengan hewan-hewan, maka manusia tidak hidup begitu saja di tengah-tengah alam, melainkan selalu mengubah alam itu. Entah manusia menggarap ladangnya atau membuat sebuah laboratorium untuk penyelidikan ruang angkasa, entah manusia mencuci tangannya atau memikirkan suatu sistem filsafat, pokoknya hidup manusia lain dari hidup seekor hewan, ia selalu mengutik-utik lingkungan hidup alamiyahnya, dan justru karena itulah kita menemukan apa yang kita namakan dengan peradaban yang sering sekali kita banggakan sebagai puncak kecerdasan dan kesempurnaan penciptaan manusia...?”.

4. Manusia dan Masyarakat.
Dari sudut pandang sosiologi agama, Masyarakat menjadi "masyarakat" karena fakta bahwa para anggotanya taat kepada kepercayaan dan pendapat bersama. Menurut Shariati, suatu masyarakat sebagaimana suatu obyek, yang akibat berbagai faktor dan kondisi tertentu masyarakat tersebut sangat mungkin untuk menyimpang dari posisi keseimbangannya ataupun menuju arah tertentu. Dan tentu saja arah yang dituju oleh suatu masyarakat yang berdasarkan akan suatu keyakinan tertentu akan menuju pada tujuan yang tertentu pula, jikalau keyakinan tersebut bermacam-macam maka tujuannya juga bermacam-macam, misalnya spritualisme dan kesalehan ekstrim dan kecenderungan kepada keakhiratan, atau menuju kepada kebalikannya yaitu materialisme atau korupsi ekstrimdan kecenderungan kepada keduniawian.

Hubungan antara agama dengan masyarakat tidak hanya terlihat di dalam masalah ritual keagamaan saja. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak mungkin memenuhi kemanusiaannya dengan baik tanpa berada ditengah sesamanya dalam bentuk hubungan-hubungan tertentu. Tetapi karena adanya hubungan itu secara otomatis membawa pada pergesekan kemerdekaan pribadi. Maka timbul perbedaan-perbedan antara suatu pribadi dengan lainnya al-Zuhruf: 32 menggambarkan:
        •                    
Artinya:
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? kami Telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami Telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”.

Durken, seorang ahli sosiologi mengatakan bahwa: “Manusiaa adalah dua subtansi jiwa pada diri masyarakat”. Ini menunjukkan bahwa selain ada kemerdekaan individu juga ada istilah kemerdekaan manusia yang sifatnya lebih luas “Masyarakat” menyangkut kepentingan bersama (Baca: Keharusan Universal).

Sebenarnya perbedaan-perbedaan itu adalah untuk kebaikannya sendiri, sebab kenyataan yang penting dan prinsipil, ialah bahwa kehidupan ekonomi, sosial dan kultural menghendaki pembagian kerja yang berbeda-beda (Al-Maidah: 48).
          •                           •                    
Artinya:
Dan kami Telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang Telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang Telah kamu perselisihkan itu.

Pemenuhan suatu bidang kegiatan guna kepentingan masyarakat adalah suatu keharusan, sekalipun hanya oleh sebagian anggotanya. Karena memang secara kodrati usaha manusia itu haruslah berbeda-beda. Justru dengan perbedaan itu proses interaksi sosial akan berjalan, saling tolong menolong untuk memenuhi kebutuhan hidup yang akan membuat hidup ini lebih manusiawi. Hal ini dilukiskan dalam surat al-Lail : 4.
•   
Artinya:
Sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda.

a. Ekonomi; Salah Satu Akar Masalah Dalam Kehidupan Ber-Masyarakat.
Sebagaimana disebutkan diatas bahwa al-Qur’an terus menerus mengecam ketimpangan ekonomi karena inilah yang paling sulit disembuhkan dan terlalu sering menjadi inti dari ketimpangan sosial (Baca: Penyebab) sebagaimana yang kita lihat dalam sejarah / seting masyarakat Arab sewaktu al-Qur’an itu diturunkan. Namun celaan-celaan al-Quran terhadap para tengkulak, pengumpat dan penindas ekomomi rakyat itu tidak hserta merta menunjukkan bahwa al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam itu menolak atau melarang manusia untuk memperkaya diri. Namun sebaliknya al-Qur’an memberikan nilai yang tinggi terhadap kekayaan dengan sebutan-sebutan sebagai kelimpahan dari Allah “Fadhl Allah” seperti terungkap dalam firmannya:
               
Artinya:
Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (QS. Al-Jum’ah: 10)
Dalam beberapa ayat yang llainnya al-Qur’an juga membahasakannya sebagai kebaikan “Khair” Sebagaimana terungkap dalam QS.al-Baqarah: 272-273
                                                     •           
Artinya:
Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya. dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), Maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan Karena mencari keridhaan Allah. dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya (dirugikan).
(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang Kaya Karena memelihara diri dari minta-minta. kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), Maka Sesungguhnya Allah Maha Mengatahui.
Adapun yang sering disorot oleh al-Qur’an adalah penyalahan dari penggunaan kekayaan tersebut, karena penyalah gunaan kekayaan tersebut dapat menghalangi manusia didalam mencari nilai-nilai luhur. Perjuangan manusia yang hanya diorientasikan pada masalah duniawi (Harta) akan menjadikan mereka hanya mengetahui dan mempedulikan keihdupan duniawi saja dan melupakan tujuan hidup yang mulia (limardatillah).
          
Artinya:
Mereka Hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai. ( QS: ar-Rum 7)
Tanpa keinginan untuk meningkatkan kesejahteraan orang-orang yang miskin, shalat sekalipun akan menjadi semacam perbuatan yang munafik. Sikap tidak mempedulikan orang-orang yang memerlukan bantuan ekonomi mencerminkan kepicikan dan kesempitan akal.
                               
Artinya:
Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?, Itulah orang yang menghardik anak yatim, Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin, Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, Orang-orang yang berbuat riya, Dan enggan (menolong dengan) barang berguna. (QS.Al-Ma’un 1-7).
Bukan hanya orang Makah (yang secara geografis langsung terkena teguran al-Qur’an karena memang al-Qur’an turun disana) sebenarnya yang disoroti oleh al-Quran pada ayat-ayat diatas. Karena secara kasus masalah keinginan untuk menperkaya diri, keinginan untuk berjihad dijalan Allah dengan hartanya, sampai masalah dibutakannya manusia oleh duniawi, menghardik anak yatim, memakan harta riba, kikir dan sebagainya juga terjadi pada realitas masyarakat saat ini.
Demikian baiknya al-Qur’an merekam hal-hal yang bersifat universal sehingga tetap relefan di setiap zaman, termasuk ketika sekarang apabila kita berbicara masalah keadilan ekonomi dalam Islam setidaknya kita dapat mengatakan adanya persamaan secara garis besar apa yang terjadi pada akar sistem ekomomi sekarang dengan apa yang disindir secara halus ataupun kasar dalam al-Qur’an. Masalah kapitalisme yang cenderung menginginkan kelipatan keuntungan sebesar-besarnya dengan menekan jumlah pekerja sebenarnya sudah disindir oleh al-Qur’an Surat al-Lail:4.
Secara garis besar bisa disebutkan cita-cita ekonomi Islam adalah agar “kekayaan” tidak berputar dikalangan orang kaya saja (baca: Keadilan Ekonomi), secara tegas hal ini diungkapkan al-Qur’an;
•                                 •   •    
Artinya:
Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya. (QS.59:7)

b. Relasi Agama dan Sosial.
          •            •        
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.(al-Maidah :8).
Siapakah yang harus menegakkan keadilan dalam masyarakat, sudah pasti adalah masyarakat sendiri, tetapi dalam prakteknya diperlukan adanya kelompok dalam masyarakat yang karena kualitas-kualitas yang dimilikinya senantiasa mengadakan usaha-usaha menegakkan keadilan itu dengan jalan selalu menganjurkan sesuatu yang bersifat kemanusiaan serta mencegah terjadinya sesuatu yang berlawanan dengan kemanusiaan sebagaimana semangat Ali Imran: 104.
Ajaran agama adalah untuk dihayati dan diamalkan, agar tidak keluar dari koridor umum yang dikehendaki oleh agama, maka agama itu harus menyatu terlebih dahulu dengan nafas manusia. Menurut Hans Kung, agama bukan hanya menyangkut hal-hal yang teoritik, melainkan hidup sebagaimana yang kita hayati. Agama menyangkut sikap hidup, pendekatan terhadap hidup, cara hidup, dan yang terpenting adalah menyangkut perjumpaan atau relasi yang oleh Rudulf Otto dinamakan sebagai The Holy. Agama selalu menyangkut basic trust seseorang terhadap hidup dan menyangkut “ya” atau “tidak” terhadap hidup. Menurut Kung, secara eksistensial, sadar atau tidak, manusia membutuhkan komitmen pada makna, dan komitmen pada norma.
Dalam hal ini agama selalu berkaitan dengan manusia. Sejarah agama selalu menyertai sejarah kemanusiaan. Agama tidak akan pernah hilang dari muka bumi ini semenjak dimulainya sejarah kemanusiaan hingga ia punah. Menurut Max Scheler (1874-1892 hal ini merupakan kemampuan tersendiri yang paling dasar dalam diri manusia. Bahkan, agama merupakan fitrah yang diturunkan yang telah menyatu dalam diri manusia semenjak kelahirannya.
Setiap agama membawa misi sebagai pembawa kedamaian dan keselarasan hidup, bukan saja antarmanusia, tetapi juga antar sesama makhluk Tuhan penghuni semesta ini. Dalam tataran historis, misi agama tidak selalu artikulatif. Saelain sebagai alat pemersatu sosial, agama pun menjadi unsur konflik. Bahkan, menurut Schimmel, dua unsur itu menyatu dalam Agama. Mungkin pernyataan ini agak berlebihan, Namun jika melihat perjalanan sejarah dan realitas dimuka bumi ini, pernyataan itu menemukan landasan historisnya sampai sekarang. Persoalannya, bagaimana realitas itu bisa memicu para pemelik agama untuk merefleksikan kembali ekspresi keberagamaannya yang sudah sedemikian mentradisi dalam hidup dan kehidupannya. Dalam Islam misal; ada beberapa doktrin yang menggambarkan tentang konsep masyarakat seperti termaktub dalam surat Ali Imran:104:
  •             
Artinya:
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.
Dari surat di atas, tampak bahwa ummah merupakan sebuah entitas yang memiliki karakter etis, berupa kecenderungan kepada sifat-sifat utama (khair). Entitas itu memiliki fungsi dan tugas profetik-transformatif, yakni menyerukan kebaikan (amar ma’ruf) dan mencegah kemungkaran (nahi mungkar). Ummah yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah sekelompok tertentu dalam masyarakat, bisa berupa organisasi, pemerintah (government), atau negara (state) sebagai bagian dari masyarakat.
  •  ••                     
Artinya:
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS.Ali Imran:110)
Cakupan ummah dalam surat ini lebih luas, yakni masyarakat itu sendiri. Ayat ini lebih menjelaskan model masyarakat terbaik (khairu ummah). Ciri utama masyarakat terbaik menurut ayat ini adalah terdapat mekanisme kelembagaan maupun non-kelembagaan untuk amar-ma’ruf dan nahi mungkar serta penduduknya beriman.
Bagi Kuntowijoyo, cita-cita penegakan amar ma’ruf dan nahi munkar dalam kerangka keimanan, merupakan akar semangat transformasi sosial secara terus-menerus dalam Islam. Amar ma’ruf, menurut Kunto, berarti humanisasi dan emansipasi, sedangkan nahi munkar bermakna liberasi. Dan karena keduanya berada dalam kerangka keimanan, maka humanisasi dan liberasi tidak bisa dipisahkan dari transendensi. Di setiap masyarakat, dengan struktur dan sistem apapun, dalam tahap historis manapun, lanjut Kunto, cita-cita untuk humanisasi, emansipasi, liberasi dan transendensi akan selalu memotivasi gerakan transformasi Islam. Semangat transformasi demikianlah yagn menjadi predikat utama ummah terbaik ini. Dan ummah terbaik yang dimaksud ayat tersebut adalah umat Islam. Jadi, cakupan ummahi yang dimaksud ayat ini hanya terbatas pada komunitas yang tersatukan oleh kesamaan agama yakni Islam.
Tentang siapa penyandang gelar khairu ummah ini sebenarnya ada beberapa pendapat:
(1) kaum muhajirin,
(2) mereka melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar,
(3) sahabat nabi,
(4) sahabat Nabi dan orang-orang yang berprilaku sebagaimana sahabat Nabi,
(5) orang-orang saleh diantara umat Muhammad, dan
(6) umat Muhammad karena mereka adalah umat terbanyak yang menerima Islam.

Nilai ideal ummah, bagi Kunto, tidak saja terletak pada fungsi transformatifnya, tetapi juga pada unsur konstitutifnya yang berupa nilai. Sistem nilai tauhid melahirkan sentimen kolektif berupa keimanan yang kemudian membentuk komunitas keimanan yagn kemudian membentuk komunitas yang disebut jama’ah, atau lebih bear lagi ummah. Komunitas ini secara intern dan ekstern membentuk sistem kelembagaan dan sistem otoritasnya sendiri.

Salam Penutup.
Al-Quran menyimpan potensi yang begitu dahsyat dengan misteri dan kelebihannya. Dan jika al-Qur’an merupakan sebuah kitab suci yang Shalihun li kulli zaman wa makan : Kitab suci yang sesuai untuk segala zaman dan tempat, sebuah kitab suci yang universal, melampaui waktu dan tempat yang dialami manusia, Maka harus dipahami bahwa ia diturunkan pada abad ke 20 juga, seolah-olah Muhammad baru saja wafat dan memberitahukan langsung kepada kita, berarti ia adalah korpus terbuka dan sangat potensial untuk menerima segala bentuk eksploitasi, baik berupa pembacaan, penerjemahan, hingga penafsiran. Kehadiran teks al-Qur’an di tengah umat Islam telah melahirkan pusat pusaran wacana keislaman yang tak pernah berhenti dan menjadi pusat inspirasi bagi manusia untuk melakukan penafsiran dan pengembangan makna ayat-ayatnya.
Jika kita lihat khazanah tafsir dengan seluruh macam madzhabnya, kita akan tahu bahwa sesungguhnya Al-Qur’an hanyalah “alat” saja untuk membangun teks-teks lain yang dapat memenuhi kebutuhan dan selera suatu masa tertentu setelah masa turunnya Al-Qur’an itu sendiri. Seluruh tafsir itu ada dengan sendirinya dan untuk dirinya sendiri. Dia merupakan karya intelektual serta produk budaya yang lebih terikat dengan konteks kultural yang melatarinya, dengan lingkungan sosial masyarakat atau teologi yang menjadi “payungnya” nya daripada dengan konteks Al-Qur’an itu sendiri.
Kiranya baru sedikit ini yang mampu pemakalah paparkan dalam bentuk tulisan, harapannya dapat didiskusikan dengan hangat dan harmonis sehingga memunculkan kritik dan saran yang membangun. Kajian tentang Manusia dan hubungannya dengan masyarakat ditinjau dari sudut pandang sosiologi Agama yang dalam hal ini lebih condong pada ke-Islaman-nya jelas tidak mungkin dapat diwakili oleh tulisan yang sedikit ini.



Refrensi

Al-Qur’an Digital.
Soleh, Ahmad Khuldi dkk; Pemikiran Islam Kontemporer, Hermeneutika Humanistik Hasan Hanafi. Jendela, Yogyakarta 2003
Rahman, Fazlur; Tema-tema pokok al-Qur’an. Pustaka Bandung 1996
Hitti, Philip K; History of Arabs. Serambi, Jakarta 2005
Majid, Nurcholis dkk; NDP HMI , Bab 2 “Pengertian-pengertian Dasar Tentang Kemanusiaan”. PB HMI, Jakarta
Syari’ati, Ali; Humanisme: antara Islam dan Mazhab Barat, Penerjemah. Afif Muhammad, cet.ii, Bandung: Pustaka Hidayah, 1996.
Taringan, Azhari Akmal; Islam Madzhab HMI, Tafsir Tema Besar NDP, Kultura (GP Press Group), Cipayung 2007
Ismail, Faisal; Paradigma Kebudayaan Islam, Studi Kritis dan Refleksi Historis, Tiara Ilahi Press, Yogyakarta, 1996.
Hussein, Mohamad Zaki; Sosiologi Agama Durkhaim,
Shariati, Ali; Islam dalam Perspektif sosiologi agama, IQRA, Bandung
Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi, Bandung: Mizan, 1994
al-Alusi, Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an al-Adzim wa sabi’l al-Masani, Jilid III, Juz IV hlm 44. Beirut: Dar al-Fikr, 1993
Mustaqim, Abdul; Madzahibut Tafsir : Peta Metodologi penafsiran al-Qur’an Periode Klasik hingga Kontemporer.(Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003)
Syahrur, Muhammad; (Terj) Prinsip dan dasar Hermeneutika al-quran kontemporer,
Hidayat, Komarudin; Memahami Bahasa Agama : Sebuah Kajian Hermeneutik. Jakarta: Paramadina, 1996
Arkoun, Mohammad; “Metode Kritik Akal Islam”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, nomor 6 vol. V 1994.
Abidin, Zainal & Syafi’i, Ahmad; Sosiosophologi, Cv Pustaka Setia. Bandung, 2002.
Johnson, Doyle Paul; Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jakarta: PT Gramedia, 1986
Abdullah, Syamsudin; Agama dan Masyarakat Pendekatan Sosiolgo Agama, Logos, Jakarta: 1997

Label