Selasa, 06 Oktober 2009

Sekedar Wacana Sosial Teologis Perempuan

Oleh: Kukuh Budiman.

Berbicara masalah perempuan dewasa ini seringkali dimaknai sebagai pembicaraan isu kesetaraan gender. Padahal tidak semestinya selamanya seperti itu, karena kesetarann gender itu bukan hanya untuk perempuan, tapi juga laki-laki. Fenomena masyarakat dalam menangkap kesan pertama diatas dapat kita fahami karena pembedaan-pembedaan dan kecenderungan kesana memang sangat besar bahkan semakin mengauat dari masa kemasa. Begitu juga halnya dengan tulisan pengantar wacana sosial teologis perempuan ini tidak akan lepas dari isu-isu gender. So…. Perlu juga kita membicarakan (meski secara singkat saja mengenai gender ini). Dari beberapa macam kasus pemaknaan gender kita dapat menggolongkan dalam beberapa garis pemaknaan: Gender sebagai sebuah istilah, Gender Sebagai Suatu Fenomena, Gender Sebagai Sebuah Kesadaran, Gender Sebagai Sebuah Persoalan, Gender Sebagai Sebuah Alat Analisis.

Gender sebagai sebuah istilah khusus, Dalam ilmu sosial gender dimaknai sebagai perbedaan yang digolongkan dengan garis jenis kelamin. Jadi gender ialah pembedaan laki-laki dan perempuan (baik sifat, status, peran, kesempatan, dst). Jika benar begitu adanya, dalam artian yang merupakan konstruksi/bentukan sosial maka sifatnya adalah tidak bersifat permanen. Berbeda dengan jenis kelamin (saja/ laki-laki perempuan) yang merupakan kodrat/given dan bersifat abadi.

Gender sebagai suatu fenomena sosial-budaya ini juga berarti Gender sebagai sebuah fenomena/gejala yang bersifat kultural dan relatif, dibangun secara sosial dan menjadi budaya, sangat mungkin karena unsure perbedaan biologis.
Gender sebuah kesadaran, Kesadaran bahwa pembedaan, pensifatan atau pelabelan yang diturunkan/akibat dari perbedaan seksual laki-laki dan perempuan adalah pembedaan yang bersifat sosio-kultural/social construction.

Gender persoalan sosial-budaya, Terkadang isu-isu gender menjadi persoalan karena melahirkan ketidaksetaraan (antara laki-laki dan perempuan) yang memunculkan ketidakadilan gender/ ketidakadilan pada jenis kelamin tertentu (dalam kasus ini, hamper disetiap belahan dunia perempuanlah yang menjadi kaum under clas), dalam bentuk marginalisasi, subordinasi, stereotipi, kekerasan, atau beban ganda.
Gender alat analisis/tool of analysis, Gender sebagai sebuah alat/konsep untuk menganalisis fenomena sosial yang terkait dengan isu gender. Dengan menggunakan parameter: Akses, Kontrol, Partisipasi, dan Manfaat.

It’s ok apa pun itu konstruk pemikiran kita mengenai gender tidak terlalu bermasalah “setidaknya untuk kali ini saja”. Dalam tulisan kali ini saya tidak ingin membahas panjang lebar mengenai gender (secara khusus) karena insya Allah akan ada pembacaan khusus tentang itu. Apa yang digolongkan diatas itu hanya bertujuan sebagai pengantar atas kegiatan yang dilakukan secara sistematik untuk mengidentifikasi dan memahami pola pembagian kerja dan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan, ketimpangan dalam pola relasi keduanya, serta dampak yang berbeda dari kegiatan pembangunan terhadap laki-laki dan perempuan, terutama dalam wilayah social, dan yang lebih menjadi focus dalam tulisan ini adalah perempuan.


Perempuan Dalam Struktur Sosial

Ashgar Ali Engineer pernah mengajukan suatu gagasan yang sangat menarik saya kira. Gagasan itu adalah mengenai pembacaan yang kritis terhadap muatan-muatan ajaran Islam dalam Al-Qur’an yang membicarakan tentang perempuan. Hal ini dipicu oleh adanya ketimpangan dalam wacana teologi Islam yang tidak saja melahirkan perlakuan yang kurang adil terhadap perempuan dalam kehidupan sosial dan kultural, tetapi secara simultan mengakibatkan terjadinya pengkerdilan nilai-nilai kemanusiaan dalam ajaran Islam.

Wacana teologi yang telah menjadi kajian besar terutama di lingkungan masyarakat Islam, telah mengakibatkan adanya disorientasi teologis karena menguntungkan satu pihak dan merugikan bahkan mengeksploitir pihak-pihak yang lain. Corak teologi semacam ini disinyalir sangat mungkin muncul karena adanya hegemoni system pengetahuan dan pemahaman yang "salah" yang entah mengapa dalam sejarah (kecuali yang tertentu) selalu berada dibawah otoritas kaum laki-laki.

Ada dua sasaran kritik teologi gender. Pertama diarahkan pada bias sosio-antopologis sebagai sebuah akibat dari kuatnya budaya patriarkhi. Kedua pada anggapan yang mendasari produk pemikiran teologis tentang posisi dan peran wanita. Terhadap kajian wacana yang ke-dua, dalam teologi gender sering dianggap sebagai sebuah wacana yang terbuka atas penafsiran “tidak mati dan kaku”. Jadi dasar-dasar teologis tidak dimaknai secara leterlek begitusaja dan sudah lengkap dengan segala asesorisnya, sehingga tidak terbuka pintu bagi manusia untuk memahaminya dan menafsirkannya (sering diistilahkan dengan: Pintu ijtihad yang tertutup).

Dengan pendekatan Hermeneutika, telogi gender seringkali mengembangkan kajian teks yang bersifat historis dan kritis. Dengan langkah-langkah ini teologi gender tidak berhenti pada kritik saja, tapi lebih jauh ingin menawarkan pandangan dan solusi yang juga berangkat dari agama itu sendiri tentang posisi dan peran perempuan yang lebih berimbang dan humanis. Selanjutnya pada tataran praktis-operasinal pandangan tersebut akan mengimplikasikan terjadinya perubahan sosial (struktural).

Dalam kritik teologi gender, setidaknya kita bisa dapat gambaran bahwa kuatnya budaya patriarkhi pada gilirannya akan melahirkan pengaruh yang sangat besar terhadap terbentuknya wacana sosial yang relevan dengan kenyataan budaya. Sehingga menjadi wajar bila eksistensi perempuan kurang mendapat perhatian dalam diskursus teologis. Kalaupun diangkat menjadi tema-tema pembicaraan teologis, wanita masih seringkali dipersepsi sebagai yang subordinat, karena semata-mata ingin mempertahankan superioritas kaum laki-laki (terkadang…..)

Dari kritik terhadap bias sosio-antropologis tersebut, teologi gender juga mengajukan kritik terhadap kesalahan dalam memahami teks-teks kitab suci yang disebabkan oleh asumsi dasar yang tidak dapat dipertanggung jawabkan secara teologis. Menurut Riffat Hasan ada tiga asumsi dasar yang telah lama digunakan dalam tradisi pemikiran teologi dilingkungan umat Islam.

Pertama; Hawa diciptakan Allah dari tulang rusuk laki-laki, maka seringkali muncul pemahaman denga sendirinya kalau perempuan itu diyakini sebagai mahluk yang secara ontologis adalah sekunder.

Kedua; Bahwa perempuan --bukan laki-laki-- yang seringkali diyakini merupakan penyebab utama tergelincirnya Adam dari surga atau yang kita kenal sebagai dosa manusia atau terusirnya manusia dari surga, karena itu semua anak perempuan Hawa harus diperlakukan dengan rasa lebih kecil.

Ketiga; Bahwa perempuan diciptakan pada dasarnya adalah untuk laki-laki, oleh karena eksistensinya hanyalah pelengkap. Asumsi-asumsi seperti telah begitu jauh mempengaruhi pemahaman sebagian umat islam terhadap teks al-Qur’an yang sebenarnya menyatakan kesetaraan manusia bukan pengsuperioran laki-laki.

Tuhan menyebut seluruh umat manusia dimuka bumi sebagai khalifah. Tidak ada yang menbedakan diantara manusia, golongna dll dimata Allah kecuali ke-Taqwaannya. Dengan demikian dalam kehidupan sosial tidak ada perbedaan karena adanya kualitas penciptaan secara biologis. Demikianlah kita telah melihat kritik teologi gender telah menyentuh persoalan yang demikian luas dan mendasar. Dikatakan demikian karena teologi gender tidak saja terbatas pada analisis struktural tapi telah memasuki persoalan yang mendasar, yang berkaitan dengan pandangan dunia masyarakat tentang hubungan laki-laki dan perempuan yang dikembangkan berdasarkan pada pemahaman teks-teks Kitab suci.

Apa yang ditawarkan dalam kajian gender dengan mengambil acuan pada wacana teologi akan memberikan peluang tumbuh kembangnya diskursus teologi yang bersifat emansipatoris, tidak saja untuk kaum hawa, tapi untuk semua umat manusia.

Label