Sabtu, 07 November 2009

Strategi Gender Dalam Organisasi, Sebuah Teori

Langkah-langkah yang akan anda perlukan untuk mengembangkan dan melaksanakan strategi gender bagi organisasi anda akan bervariasi dari satu organisasi denga oraganisasi lain, namun umumnya akan menyangkut hal-hal berikut ini:

I. Di dalam Organisasi

1. Mempelajari kembali visi dan missi lembaga
2. Komitmen dari pimpinan senior lembaga mencerminkan dukungan, kepemimpinan dan tanggung jawab pada pelaksanaan strategi gender yang lebih luas dalam organisasi
3. Mengembangkan kebijaksanaan dan petunjuk tentang gender dalam organisasi secara tertulis dan disahkan lembaga
4. Alokasi waktu staf untuk pengembangan dan pelaksanaan strategi gender
5. Mengembangkan kebijakan tentang kesempatan yang sama bagi semua staf mencakup prosedur perekrutan, pemecatan, teknik wawancara, kondisi kerja antara staf tetap dan kontrak, persamaan dalam upah dan kondisi kerja, promosi, pengembangan sumber daya manusia, dan perlakuan secara umum terhadap staf
6. Mengembangkan iklim kerja yang kondusif bagi perempuan, dari sudut pandang keamanan kerja dan dari praktek ketenagakerjaan yang tidak mendiskriminasi perempuan berdasarkan status perkawinan dan keluarganya
7. Melakukan analisa terhadap posisi struktural dan hirarkis antara perempuan dan laki-laki dalam organisasi, serta melakukan tindakan untuk membuat lebih seimbang dan menambah jumlah perempuan pada posisi senior
8. Mempelajari lingkungan/budaya dalam organisasi untuk memastikan bahwa hal itu sensitif gender
9. Melibatkan perempuan dalam pengambilan keputusan baik yang formal maupun yang tidak formal
10.Melaksanakan pelatihan penyadaran gender bagi semua orang kunci baik perempuan maupun laki-laki
11.Menggunakan bahasa dan praktek komunikasi yang sensitif gender

II. Dalam Proyek

1. Memberikan pelatihan untuk staf lapangan dan staf lainnya dalam pendekatan gender
2. Mengidentifikasi semua elemen proyek untuk memastikan bahwa semuanya telah memasukkan isu gender
3. Mempelajari TOR proyek untuk memastikan bahwa TOR tersebut telah memasukkan isu gender secara efektif
4. Membagi tugas tanggung jawab langsung dalam isu gender bagi staf yang menaruh perhatian pada hal ini
5. Mempergunakan teknik partisipatif dalam pelatihan dan aspek lainnya dalam siklus proyek
6. Mengintegrasikan komponen gender dalam semua aspek proyek dan tidak hanya dalam ”proyek perempuan” serta penolakan terhadap pelaksanaan sekedar penambahan komponen perempuan dalam proyek
7. Melakukan kerja sama dengan rekan kerja untuk meningkatkan sensitivitas gendernya
8. Melakukan pemantauan terhadap dampak bagi perempuan dan laki-laki pada setiap tahapan proyek
9. Mempekerjakan konsultan gender dan orang yang mendukung isu gender

Anda juga bisa mempergunakan kedua daftar diatas sebagai sebuah daftar pertanyaan untuk mengetahui apakah organisasi anda atau organisasi lainnya sudah sensitif gender.

(diambil dari ”Manual Gender untuk Proyek Pembangunan dan Organisasi di Indonesia”, Women’s Support Project - CIDA).

Melihat secara kritis Pemikiran Amina Wadud Mukhsin (Sebuah Pengantar)

Suatu sistem kehidupan tidak dapat dianggap seimbang dan “baik”
jika mengabaikan salah satunya,
baik laki-laki maupun perempuan harus dapat bekerja sama secara “simbiotik-mutualistik”
jika menginginkan system kehidupan yang harmoni,
dan itulah semangat (spirit) yang hendak diberikan al-Qur’an.
(Amina Wadud Muhsin, Qur’an and Women)


(Mencoba Mengintip Secara Kritis Pemikiran Amina Wadud Mukhsin )
Apa yang diungkapkan oleh Amina Wadud diatas secara terang-terangan mengandung arti bahwa isu klasik mengenai perbincangan gender dalam Islam harusnya sudah terselesaikan. Namun diakui ataupun tidak dehumanisasi terhadap perempuan pernah terjadi dalam sejarah manusia (baik dunia barat ataupun timur “termasuk dalam dunia Islam”). Hal ini menjadi sangat aneh (menurut Amina) karena al-Qur’an yang seharusnya selalu menjadi patokan utama gerak umat islam pada dasarnya sanggat menghargai wanita dan laki-laki dalam satu garis yang equal (al-Musawah).
Amina Wadud dlm buku Pemikiran Islam Kontempoler mensinyalir hal seperti itu sangat besar kemungkinan adanya, karena bias gender dalam penafsiran al-Qur’an yang kebanyakan didominasi oleh laki-laki. Ia beranggapan bahwa kebenaran penafsiran itu sangat relative, banyaknya para penafsir yang saling bertentangan padahal semuanya merujuk pada al-Qur’an menjadikannya semakin yakin akan hal itu. Berangakat dari asumsi itu dan doktrin salikhu likulli zaman wa al-makkan maka mau tidak mau al-qur’an harus selalu ditafsirkan seiring dengan akselerasi perubahan dan perkembangan zaman. Hanya saja hal seperti itu memang masih tergoleng langka, seperti yang dikatakan Akron bahwa umat islam masih cenderung suka mengkonsumsi al-Qur’an sebagai bacaan ibadah bukan kajian ilmiah…
Dari bukunya al-Qur’an and Woman secara singkat dapat disebutkan “beberapa” letupan pemikiran Amina diantaranya:
1. Tidak ada penafsir yang benar-benar objektif.
Bagaimanapun mufasir terpengaruh oleh prior texts (sesuatu yang membentuk prespektif mufasirnya), dan itu artinya mufasir kapanpun tidak hanya memproduksi makna teks asli, namun ia juga memproduksi makna baru. Namun disisilain ia juga mengakui bahwa hal itulah yang membuat teks itu hidup dan memiliki makna di setiap zamannya. Tak mengherankan jika teks yang tunggal itu ketika dibaca akan menghasilkan “hasil” yang berbeda-beda. Amina menyayangkan mengapa sampai saat ini tidak ada metode penafsiran yang dapat dikatakan setandar objektif..? menski disisi lain ia juga mengakui hal itu tidak mungkin, namun minimal lebih objektif. Untuk yang terakhir itu Amina sepakat dengan gagasan Fazlurrahman yang menyatakan bahwa Mufasir harus dapat kembali pada prinsip dasar dalam al-Qur’an sebagai kerangka paradigmanya. (Padahal bagaimana prinsip dasar itupun masih dipertanyakan). Seorang mufasir harus faham Sosio kultur untuk dijadikan word view.
2. Katagorisasi penafsiran al-Qur’an.
Amina menyatakan bahwa beberapa penafsiran-penafsiran yang sudah dilakukan abad ini setidaknya dapat dikatagorikan menjadi tiga corak: Tradisional, Reaktif, dan Holistik.
Tradisiona, diartikannya bahwa Mufasir menggunakan pokok bahasan tertentu sesuai dengan minat dan kemampuannya. Model ini, menurut Amina bersifat Atoistik dan bersifat parsial hal itu diyakininya dapan menjadikan sang mufasir tidak dapat menerima ide dasar al-Qur’an. Lebih dari itu tafsir ini juga dikatakan bersifat eksklusif (hanya oleh satu orang saja, dan kebanyakan laki-laki) sehingga kesaaran dan pengalaman kaum laki-laki saja yang terakomodir didalamnya.
Corak Tafsir Reaktif, kurang lebih hanyalah reaksi para pemikir modern terhadap sejumlah hambatan-hambatan yang dialami dan disinyalir berasal dari hasil penafsiran al-Qur’an. Lemahnya, sampai saat ini (menurut Amina) tafsir model ini masih cenderung “kurang disertai analisis yang komperhensif terhadap ayat-ayatnya”. Akibat fatalnya adalah meskipun semangat yang dibawa para Mufasirnya adalah liberation namun hasilnya justru tidak sesuai dengan nilai-nilai dan ideology Islam.
Corak tafsir Holistik, menurut Amina model ini menggunakan seluruh seluruh metode penafsiran dan mengaitkannya dengan berbagai persoalan social, moral, ekonomi, politik, termasuk isu-isu perempuan yang muncul. Sebenarnya model ini mirip dengan model yang ditawarkan oleh Fazlurrahman dan al-Farmawi, menilik pendapatnya Rahman bahwa ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan dalam waktu tertentu (dengan keadaan umum dan khusus yang menyertainya) akan menggunakan ungkapan yang relative sesuai dengan situasi yang mengelilinginya. Karenanya ia tidak dapat jika hanya direduksi atau dibatasi oleh situasi historis pada saat diwahyukan saja.
Dengan semboyan yang sama itu Amina berpendapat bahwa usaha memelihara relevansi al-Qur’an dengan perkembangan kehidupan manusia, al-Qur’an harus terus dikaji ulang. Lagi-lagi idenya sama atau minimal senada dengan pemikiran orang lain, dalam hal ini “Sayhrul” dengan bukunya al-Kitab wal Qur’an Qira’ah Mu’asirah. Sayahrul juga menerangkan bahwa penyikapan terhadap al-Qur’an seperti itu merupakan konsekwansi logis dari doktrin yang menyatakan Salikh li kulli Zaman wa al-Makkan. Oleh karena itu hasil penafsiran harus selalu terbuka untuk dikritisi setiap saat tampa terkecuali pemikiran penafsiran Amina Wadud Mukhsin ini. Janagn sampai terjadi apa yang dikatakan oleh Akroun “sakralisasi pemikiran keagamaan”.


Bersambung………….

Bergunakah keberadaan “Emosi” dalam diri manusia….??

Keberadaan “Emosi” pada diri seorang manusia merupakan suatu fitrah baginya, Sebagai sesuatu yang Wajar yang sifatnya Niscaya / Pasti ada pada manusia, maka setiap orang mempunyai apa yang namanya Emosi itu. Secara pribadi hal itu bisa kita amati pada diri sendiri molai dari bangun tidur pada pagi hari sampai tidur lagi pada malam hari (bahkan pada orang lain). Dari proses bagung tidur sampai tidur lagi kita mengalami macam-macam pengalaman yang menimbulkan berbagai emosi. Misal pada saat makan pagi bersama keluarga kita merasa gembira atau dalam perjalanan menuju kampus kita merasa jengkel karena hujan, becek ga’ ada ojek. Sudah itu pas sampai kampus kita merasa malu karena datang terlambat dan seterusnya dan seterusnya. Semua hal itu (baik Gembira, Mutung/Jengkel) pada dasarnya marupakan wujud emosi kita. Lantas apakah emosi itu?.

Menurut William James, “Emosi adalah kecenderungan untuk memiliki perasaan yang khas bila berhadapan dengan objek tertentu dalam lingkungannya”. Sedang Menurut Crow & Crow, Emosi adalah “sesuatu yang bergejolak dalam diri individu yang berfungsi sebagai inner adjustment terhadap lingkungan untuk mencapai kesejahteraan dan keselamatan”.

Berangkat dari sampel definisi terhadap “Emosi” yang diungkapkan oleh tokoh psikologi William James, Crow & Crow dapat kita tarik sebuah kesimpulan bahwa emosi tidak selalu jelek (Mutung, Nesu, Ngamuk, atau apalah..???) Karena ternyata, Emosi itu tidak lain merupakan “suatu keadaan yang ditimbulkan oleh situasi tertentu / khusus dan cenderung ketika emosi itu muncul/terjadi akan sangat berkaitan dengan perilaku yang mengarah terhadap sesuatu hal (ekspresi Emosi)”.

Sudah sampai sini saya mau Tanya dulu: sudah sepakat dan bias diterima belum makna “Emosi” seperti yang saya sampaikan diatas….??
Kalau sudah satu frem, Lantas adakah manfaat dari “Emosi”…???
Jika kita tinjau menurut beberapa pendapat, maka sedikitnya ada beberapa macam Emosi (saya tekankan untuk yang berpengaruh secara luas/bias dirasakan dan diketahui orang lain):
1. Emosi adalah pembangkit energi.
Tanpa emosi kita tidak sadar akan perasaan kita sendiri (meski terkadang ketika emosi negative mencuak-cuak dalam diri kita, seringkali kita juga tidak sadar pada realitas social) namun yang jelas ketika kita sudah tidak lagi memiliki ekpresi perasaan maka yang tergambar dalam benak saya (penulis sendiri) hidup kita menjadi tidak berwarna dan tidak memiliki nuansa manusia secara fitrahnya yang mampu merasakan senang, sakit hati, dll. Hidupnya seperti mati, karena “hidup berarti merasai, mengalami, bereaksi, dan bertindak”. Karena dengan ke-Lima hal itulah (minimal) mampu membangkitkan atau memobilisasi energi kita, Marah (semisal) ternyata mampu menggerakan kita untuk menyerang. Takut menggerakan kita untuk lari, mencari titik aman. Cinta mendorong kita untuk mengasihi, menyayangi, menghargai, menghormati, dan menjaga.

2. Emosi sebagai Messenger.
Maksudnya adalah emosi ternyata dapat juga berperan sebagai pembawa informasi. Bagaimana diri kita atau apa sesungguhnya sesungguhnya yang terjadi pada objeh (person) ini..?? contoh pertanyaan yang bias dijawab atau minimal sedikit dapat diketahui dari emosi kita. Jika marah berarti ada yang membuat jengkel pada kita, jika sedih berarti kita sedang kehilangan sesuatu yang kita senangi dll.

Namun ada manusia yang dengan lihainya mampu memainkan emosi. Sehingga ketika sedih sekalipun ia mampu tersenyum (meski pastinya berbeda dengan senyum yang tulus). Lantas apa yang dapat dijadikan tolak ukur untuk menghadapi orang macam ini…??
Susah memang, tapi adakalanya manusia tidak dapat menyembunyikan sifat aslinya, dan yang dapat kita lakukan untuk tau hal itu ya,, mengamati sejalan dengan perkembangan waktu. Itu saja saya piker, waktu yang akan menunjukkan fakta sebenarnya.

Tidak sampai disitu, ternyata Emosi bukan saja sebagai pembawa informasi dalam komunikasi intra personal. Berbagai penelitian membuktikan bahwa unkapan emosi dapat dipahami secara universal. Dalam retorika diketahui bahwa pembicara yang menyertakan seluruh emosi dalam pidato dipandang lebih hidup, nyaman dan meyakinkan.

Emosi juga memberikan informasi tentang keberhasilan kita. Kita mendambakan kesehatan dan mengetahiunya ketika kata merasa sehat. Kita mencari keindahan dan mengetahui bahwa kita memperolehnya ketika kita merasakan kenikmatan estetis dalam diri kita.
Jika kembali pada pertanyaan diatas, saya sendiri menyatakan “Emosi” itu berguna, dan jangan sampai dihilangkan secara keseluruhan dari dalam diri manusia. Karena menghilangkan secara keseluruhan berarti sama saja membunuh karakteristik identitas fitrah manusia. Hanya saja yang perlu digaris bawahi adalah pengendalian terhadap emosi tersebut.

Label